Saturday 29 November 2014

Pengertian Hukum Sunnah Islam

Posted by bayu hidayat on 05:28 with No comments
Menghukumi sesuatu tidak bisa dilakukan hanya dengan satu ayat atau hadits saja. Begitu pun juga hukum apakah itu wajib ataukah haram. Bahkan, tidak semua perintah atau larangan didalam Al-Qur’an maupun Hadits hanya jatuh pada hukum wajib dan haram, ada kiranya dihukumi sunnah atau hanya makruh.
 
Salah satu faidah dalam mengetahui hukum ini adalah berkaitan dengan dakwah itu sendiri, adakalanya harus bertindak tegas, ada kalanya harus bisa bersikap tolerir. Faidah lainnya terkait dengan bagaimana menyikapi sesuatu baru. Sesuatu yang baru, yang belum ditetapkan hukumnya maka harus kaji dahulu hukumnya, tidak serta merta dikatakan haram. Didalam syari’at, setidaknya ada 5 hukum syara’ yang disepakati oleh Jumhur Ulama yakni :

1. Wajib, kadang disebut Fardlu. Keduanya sinonim. Yakni sebuah tuntutan yang pasti (thalab jazm) untuk mengerjakan perbutan, apabila dikerjakan mendapatkan pahala, sedangkan bila ditinggalkan maka berdosa (mendapatkan siksa). Contohnya, shalat fardlu, bila mengerjakannya maka mendapatkan pahala, bila ditinggalkan akan diadzab di neraka, demikian juga dengan kewajiban-kewajiban yang lainnya.

Wajib terbagi menjadi dua yakni : Pertama, wajib ‘Ainiy : kewajiban bagi setiap individu. Kedua, wajib Kifayah : kewajiban yang apabila sudah ada yang mengerjakannya maka yang lainnya gugur (tidak mendapatkan dosa), contohnya seperti shalat jenazah, tajhiz jenazah (mengurus jenazah), menjawab salam dan sebagainya.

Istilah Wajib juga ada yang mensinonimkan dengan Lazim. Sebagian ulama ada yang membedakan antara Fardlu dan Wajib hanya pada beberapa permasalahan di Bab Haji.

Ada juga yang membedakan antara Fardlu dan Wajib, seperti Hanafiyah. Menurut mereka, Fardlu adalah sesuatu yang telah ditetapkan dengan dalil syar’i (maqthu’ bih) dan tidak ada keraguan didalamnya, seperti shalat 5 waktu, zakat, puasa, haji, iman kepada Allah. Hukum Fardlu adalah lazim (wajib) baik secara keyakinan maupun perbuatan sehingga apabila mengingkari (secara keyakinan) pada salah satu kefardluan itu maka kafir, namun bila meninggalkan saja (tidak mengerjakannya, seperti shalat 5 waktu dan semacamnya) maka fasiq. Sedangkan Wajib adalah kewajiban yang ghairul fardl (selain fardlu), sesuatu yang ditetapkan dengan dalil namun masih ada kemungkinan ketidak pastian (hasil ijtihad), hukumnya lazim secara perbuatan saja, tidak secara keyakinan. Apabila mengingkarinya, tidak sampai kafir namun terjatuh dalam syubhat. Sedangkan bila meninggalkannya maka berdosa dengan dosa yang kadarnya lebih sedikit daripada meninggalkan perbuatan yang sifatnya Fardlu, sebab kalau meninggalkan yang bersifat Fardlu maka disiksa dineraka, sedangkan meninggalkan yang sifatnya Wajib, tidak disiksa di neraka, namun ia terhalang dari syafa’at Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alayhi wa Sallam.

Jumhur ulama tidak membedakan antara Fardlu dan Wajib, bahkan ada yang menyatakan bahwa pembedaan seperti itu tidak tepat dan tidak berarti apa-apa.

2. Sunnah, disebut juga Mandub, Mustahabb, Tathawwu, Al-Nafl, Hasan dan Muragghab fih. Semuanya bersinonim. Yakni sebuah anjuran mengerjakan yang sifatnya tidak jazm (pasti), apabila dikerjakan mendapat pahala, namun apabila ditinggalkan tidak berdosa.

Sunnah juga terbagi menjadi 2, yaitu : Pertama, sunnah ‘Ain : sesuatu yang disunnahkan pada setiap orang (individu) yang mukallaf, seperti shalat-shalat sunnah ratibah dan lainnya. Kedua, sunnah Kifayah : sesuatu yang disunnahkan, apabila ada sebagian yang telah mengerjakannya, maka yang lain gugur, seperti seseorang memulai salam ketika bersama jama’ah (memulai bukan menjawab, penj), dan lain sebagainya. Sehingga bila sudah ada yang mengerjakannya, maka hilang (gugur) tuntutan terhadap yang lainnya, namun pahalanya bagi yang mengerjakan saja.

Sebagian ulama seperti Malikiyah membedakan antara istilah sunnah dan mandub. Sunnah menurut mereka adalah sebuah tuntutan syara’, bentuk perintahnya sangat ditekankan, namun tidak ada dalil yang mewajibkannya, apabila dikerjakan mendapat pahala, namun apabila ditinggalkan tidak disiksa, seperti shalat witir dan shalat hari raya. Sedangkan mandub adalah sebuah tuntutan syara’ yang tidak jazm (tidak pasti), bentuk perintahnya tidak terlalu ditekankan, apabila dikerjakan mendapat pahala, namun bila tidak dikerjakan tidak disiksa, contohnya didalam Malikiyah adalah shalat sunnah 4 raka’at sebelum dzuhur.

Selain itu, sunnah dari sisi tuntutannya, terbagi menjadi 2 yakni : sunnah Muakkad (sunnah yang sangat ditekankan) dan sunnah ghairu Muakkad (anjuran tidak terlalu ditekankan).

Sedangkan menurut Hanafiyah, ada perbedaan terkait sunnah Muakkad.  Menurut mereka, sunnah Muakkad, bentuknya kewajiban yang sempurna, jika meninggalkannya maka tetap berdosa, namun dosanya lebih sedikit daripada meninggalkan Fardlu (dibawah tingkatan Fardlu). Sedangkan sunnah ghairu Muakkad, menurut mereka adalah sejajar dengan Mandub dan Mustahab.

3. Mubah, bila dikerjakan atau ditinggalkan tidak apa-apa, tidak mendapatkan pahala atau pun disiksa (sebuah pilihan antara mengerjakan atau tidak). Misalnya, memilih menu makanan dan sebagainya.

4. Makruh, yakni sebuah tuntutan yang tidak pasti (tidak jazm) untuk meninggalkan perbuatan tertentu (larangan mengerjakan yang sifatnya tidak pasti), apabila dikerjakan tidak apa-apa, namun bila ditinggalkan akan mendapatkan pahala dan dipuji.

Menurut sebagian ulama, istilah Makruh ini ada yang menyatakan dengan Khilaful Aula (menyelisihi yang lebih utama).

5. Haram, yakni tututan yang pasti untuk meninggalkan sesuatu, apabila dikerjakan oleh seorang mukallaf maka mendapatkan dosa, namun bila ditinggalkan mendapatkan pahala. Contohnya seperti minum khamr, berzina dan lain sebagainya. Istilah haram juga kadang menggunakan istilah Mahdzur (terlarang), Maksiat dan al-danb (berdosa).

Menurut Hanafiyah, istilah Haram adalah antonim dari Fardlu (mereka membedakan antara Fardlu dan Wajib). Ada juga istilah makruh Tahrim dan makruh Tanzih. Makruh Tahrim adalah sebuah istilah yang lebih dekat dengan Haram, serta merupakan kebalikan dari Wajib dan Sunnah Mu’akkad. Sedangkan istilah makruh Tanzih, tidak disiksa bila mengerjakannya dan mendapatkan pahala bila meninggalkannya. Istilah makruh Tanzih menurut Hanafiyah adalah kebalikan dari sunnah ghairu Muakkad.

Ulama juga ada yang kadang menyatakan dengan istilah Halal, itu adalah kebalikan dari Haram, namun masih ambigu, yaitu bisa hukum wajib, hukum mandub dan makruh. Bila meninggalkan perbuatan yang hukum wajib, maka berdosa. Adapun yang lainnya (mandub dan makruh) bila ditinggalkan ataupun dikerjakan tidaklah berdosa.

Hukum Minuman Kopi Luwak

Posted by bayu hidayat on 05:20 with No comments
Kopi luwak masih gencar dipromosikan. Mungkin ada sebagian dari anda para pembaca termasuk penggemar kenikmatannya. Apa kopi luwak itu? Bagaimana hukum mengonsumsinya/meminumnya? Sedikit tulisan ini akan mengkajinya dari kacamata hukum fiqih dalam ajaran agama Islam. Kopi luwak adalah kopi yang dipilih dan dimakan oleh binatang luwak. Luwak akan memilih buah kopi yang mempunyai tingkat kematangan yang sempurna dengan insting alamnya berdasarkan rasa dan aroma, mengupas kulit luarnya dengan mulut, lalu menelan lendir manis beserta bijinya.

Biji kopi yang masih terbungkus kulit yang keras atau kulit tanduk (semacam tempurung dalam kelapa) tidak hancur dalam pencernaan luwak. Sistem pencernaan pada luwak yang kondusif membuat biji kopi yang keluar bersama feses/kotoran luwak masih utuh terbungkus kulit tanduk tersebut. Pada saat biji kopi dalam pencernaan luwak, terjadi fermentasi secara alami selama kurang lebih 10 jam. Prof Massiomo Marcone dari Kanada menyebutkan bahwa fermentasi dalam percernaan luwak menjadikan kualitas kopi semakin tinggi. Selain berada pada suhu fermentasi optimal 24 – 26 °C, yang dibantu oleh enzim dan bakteri dalam pencernaan luwak.

Apakah biji kopi yang keluar dari perut luwak bersama kotorannya itu hukumnya HALAL untuk dikonsumsi? Bukankah telah tercampur dengan najis, yaitu feses luwak? Untuk membahas masalah ini, para fuqaha’ telah mengkajinya ratusan tahun silam. Dalam menghukumi apakah kopi luwak halal atau haram, kajian fiqih mengawalinya dari paradigma atau pertanyaan, apakah kopi yang berada di dalam pencernaan luwak yang kemudian keluar bersama kotorannya najis atau mutanajjis?

Apabila biji kopi yang keluar bersama kotoran luwak dihukumi najis, kopi luwak jelas tidak halal/haram dikonsumsi. Namun, jika biji kopi yang keluar dari perut luwak itu dihukumi mutanajjis (hanya bersentuhan najis/benda suci yang terkena najis), biji kopi itu dapat disucikan dengan air mutlak dan halal hukumnya untuk dikonsumsi. Tentu, setelah melalui proses dibersihkan, disangrai/digoreng, dan dilembutkan menjadi bubuk kopi.

Jadi, bagaimana pandangan fiqih terhadap masalah ini? Dalam buku-buku fiqih, disebutkan bahwa biji-bijian yang keluar bersama kotoran atau muntah hewan itu hukumnya mutanajjis, dengan syarat biji – bijian itu keras, utuh (tidak berubah bentuk), yang indikasinya apabila biji-bijian itu ditanam, bisa tumbuh. Biji-bijian tersebut bisa menjadi suci dengan dicuci air mutlak dan halal dimakan. Namun, apabila biji-bijian itu telah berubah, dihukumi najis.

Dan dalam kitab Fathul Mu’in dengan syarah I’anah Ath-Thalinin juz 1, juga disebutkan bahwa apabila ada hewan memuntahkan biji-bijian atau keluar dari perutnya bersama fesesnya/kotorannya, lalu biji-bijian itu keras, masih utuh maka jika ditanam kembali bisa tumbuh, biji-bijian itu pun hukumnya mutanajjis (tidak najis). Biji-bijian itu menjadi suci dengan cara dicuci dan halal dimakan.

Hal yang sama disebutkan dalam kitab Majmu’ Syarah Muhazzab juz II : Imam Nawawi pada bab najis. Dengan demikian, apabila kopi luwak yang keluar dari perut luwak bersama kotorannya tersebut masih dalam kondisi utuh dan dipastikan tidak ada kotoran luwak yang merembes/masuk kedalam biji kopi tersebut; kopi luwak itu hanya mutanajjis (terkena/bersentuhan najis) sehingga bisa menjadi suci dengan cara dicuci dengan air mutlak. Hal ini akan membuat hilang ketiga macam sifatnya (warna, rasa, dan bau najis/feses luwak).

Menurut Koordinator Tenaga Ahli LPPOM MUI Dr Khaswar Syamsu, yang juga seorang dosen IPB. Beliau mengatakan bahwasanya kopi yang keluar bersama kotoran luwak itu ketika ditanam masih dapat tumbuh. Hal yang sama dikemukakan oleh salah seorang petani kopi luwak.

Apabila kita telah yakin pada hal ini, kita dapat menjadikan ini jawaban juga sebagai pedoman untuk isbat al-Hukm Asy-Syar’i (menetapkan hukum Islam) atau berfatwa. Kita tidak perlu lagi mengundang para ahlinya. Tapi, jika kita belum yakin dengan hal tersebut, maka kita perlu mengundang para ahlinya untuk meyakinkan. Hal ini dilakukan agar fatwa yang sudah dikeluarkan benar-benar berdasarkan ilmu pengetahuan dan kebenaran.

Jika biji kopi itu benar-benar masih utuh dan tidak berubah bentuk, maka bisa dinyatakan sebagai barang suci yang terkena najis atau di sebut mutanajjis (bukan najis). Ia akan menjadi suci dan halal setelah dicuci dengan air mutlak dengan menghilangkan tiga sifatnya (rasa, bau, dan warna). Hal ini sejalan dengan kaidah hukum Islam, Wal-Aslu Baqau Ma Kana ‘ala Ma Kana. Artinya, “Pada dasarnya, segala sesuatu itu dihukumi sesuai dengan hukum asalnya (yang telah ada padanya).”

Pengertian Halal dan Haram

Posted by bayu hidayat on 05:05 with No comments
Halal (حلال, halāl, halaal) adalah istilah bahasa Arab dalam agama Islam yang berarti "diizinkan" atau "boleh". Istilah ini dalam kosakata sehari-hari lebih sering digunakan untuk merujuk kepada makanan dan minuman yang diizinkan untuk dikonsumsi menurut dalam Islam. Sedangkan dalam konteks yang lebih luas istilah halal merujuk kepada segala sesuatu yang diizinkan menurut hukum Islam (aktivitas, tingkah laku, cara berpakaian dll). Di Indonesia, sertifikasi kehalalan produk pangan ditangani oleh Majelis Ulama Indonesia–secara spesifik Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia.



Haram adalah sebuah status hukum terhadap suatu aktivitas atau keadaan suatu benda (misalnya makanan). Aktivitas yang berstatus hukum haram atau makanan yang dianggap haram adalah dilarang secara keras. Orang yang melakukan tindakan haram atau makan binatang haram ini akan mendapatkan konsekuensi berupa dosa.

Jenis Makanan yang Halal dan haram
Makanan yang Halal
Halal artinya boleh, jadi makanan yang halal ialah makanan yang dibolehkan untuk dimakan menurut ketentuan syari’at Islam. segala sesuatu baik berupa tumbuhan, buah-buahan ataupun binatang pada dasarnya adalah hahal dimakan, kecuali apabila ada nash Al-Quran atau Al-Hadits yang menghatamkannya. Ada kemungkinan sesuatu itu menjadi haram karena memberi mudharat bagi kehidupan manusia seperti racun, barang-barang yang menjijikan dan sebagainya.

Allah berfirman :
“Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezeki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar hanya kepada-Nya kamu menyembah.” (QS. Al-Baqarah : 17)

“Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi.” (QS. Al-Baqarah : 168).
“Menyuruh mereka mengerjakan yang makruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk.” (QS. Al-A’raf : 157)

Dari Abu Hurairah RA. ia berkata : Rasulullah SAW bersabda : “Sesungguhnya Allah SWT adalah Zat Yang Maha Baik, tidak mau menerima kecuali yang baik, dan sesungguhnya Allah telah memerintahkan orang-orang mu’min sesuai dengan apa yang diperintahkan kepada para Rasul. Allah Ta’ala berfirman : Hai para Rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik dan kerjakanlah amal yang sholeh. Allah Ta’ala berfirman : Hai orang-orang yang beriman, makanlah dari rizki yang baik-baik yang Kami berikan kepada kamu sekalian…”. (HR. Muslim)

Rasulullah SAW, ditanya tentang minyak sanin, keju dan kulit binatang yang dipergunakan untuk perhiasan atau tempat duduk. Rasulullah SAW bersabda : Apa yang dihalalkan oleh Allah dalam Kitab-Nya adalah halal dan apa yang diharamkan Allah di dalam Kitab-Nya adalah haram, dan apa yang didiamkan (tidak diterangkan), maka barang itu termasuk yang dimaafkan”. (HR. Ibnu Majah dan Turmudzi).
Berdasarkan firman Allah dan hadits Nabi SAW, dapat disimpulkan bahwa jenis-jenis makanan yang halal ialah :

1.Semua makanan yang baik, tidak kotor dan tidak menjijikan.
2.Semua makanan yang tidak diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya.
3.semua makanan yang tidak memberi mudharat, tidak membahayakan kesehatan jasmani dan tidak merusak akal, moral, dan aqidah.
4.Binatang yang hidup di dalam air, baik air laut maupun air tawar.

Makanan yang Haram
Haram artinya dilarang, jadi makanan yang haram adalah makanan yang dilarang oleh syara’ untuk dimakan. Setiap makanan yang dilarang oleh syara’ pasti ada bahayanya dan meninggalkan yang dilarang syara’ pasti ada faidahnya dan mendapat pahala.
Yang termasuk makanan yang diharamkan adalah :

    Semua makanan yang disebutkan dalam firman Allah surat Al-Maidah ayat 3 dan Al-An’am ayat 145 :

“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala.” (QS. Al-Maidah : 3)

“Katakanlah: “Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi, karena sesungguhnya semua itu kotor atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah. Barang siapa yang dalam keadaan terpaksa sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-An’am : 145)
Catatan :
semua bangkai adalah haram kecuali bangkai ikan dan belalang.
semua darah haram kecuali hati dan limpa.

    Semua makanan yang keji, yaitu yang kotor, menjijikan.

“Dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk.” (QS. Al-A’raf : 157)

    Semua jenis makanan yang dapat mendatangkan mudharat terhadap jiwa, raga, akal, moral dan aqidah.

“Katakanlah: “Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak atau pun yang tersembunyi (akibatnya), dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar.” (QS. Al-A’raf : 33).

    Bagian yang dipotong dari binatang yang masih hidup.

Sabda Nabi SAW : “Daging yang dipotong dari binatang yang masih hidup, maka yang terpotong itu termasuk bangkai”. (HR. Ahmad)

    Makanan yang didapat dengan cara yang tidak halal seperti makanan hasil curian, rampasan, korupsi, riba dan cara-cara lain yang dilarang agama.

Minuman yang Halal
Minuman yang halal pada dasarnya dapat dibagi menjadi 4 bagian :

    Semua jenis aiar atau cairan yang tidak membahayakan bagi kehidupan manusia, baik membahayakan dari segi jasmani, akal, jiwa, maupun aqidah.
1.Air atau cairan yang tidak memabukkan walaupun sebelumnya pernah memabukkan seperti arak yang berubah menjadi cuka.
2. Air atau cairan itu bukan berupa benda najis atau benda suci yang terkena najis.
3. Air atau cairan yang suci itu didapatkan dengan cara-cara yang halal yang tidak bertentangan dengan ajaran agama Islam.

Minuman yang Haram

Semua minuman yang memabukkan atau apabila diminum menimbulkan mudharat dan merusak badan, akal, jiwa, moral dan aqidah seperti arak, khamar, dan sejenisnya.

Allah berfirman : Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: “Pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya”. (QS. Al-Baqarah : 219)
Dalam ayat lain Allah berfirman : “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (QS. Al-Maidah : 90)
Nabi SAW bersabda : “Sesuatu yang memabukkan dalam keadaan banyak, maka dalam keadaan sedikit juga tetap haram.” (HR An-Nasa’i, Abu Dawud dan Turmudzi).

1.Minuman dari benda najis atau benda yang terkena najis.
2.Minuman yang didapatkan dengan cara-cara yang tidak halan atau yang bertentangan dengan ajaran Islam.