Saturday 29 November 2014

Hukum Minuman Kopi Luwak

Posted by bayu hidayat on 05:20 with No comments
Kopi luwak masih gencar dipromosikan. Mungkin ada sebagian dari anda para pembaca termasuk penggemar kenikmatannya. Apa kopi luwak itu? Bagaimana hukum mengonsumsinya/meminumnya? Sedikit tulisan ini akan mengkajinya dari kacamata hukum fiqih dalam ajaran agama Islam. Kopi luwak adalah kopi yang dipilih dan dimakan oleh binatang luwak. Luwak akan memilih buah kopi yang mempunyai tingkat kematangan yang sempurna dengan insting alamnya berdasarkan rasa dan aroma, mengupas kulit luarnya dengan mulut, lalu menelan lendir manis beserta bijinya.

Biji kopi yang masih terbungkus kulit yang keras atau kulit tanduk (semacam tempurung dalam kelapa) tidak hancur dalam pencernaan luwak. Sistem pencernaan pada luwak yang kondusif membuat biji kopi yang keluar bersama feses/kotoran luwak masih utuh terbungkus kulit tanduk tersebut. Pada saat biji kopi dalam pencernaan luwak, terjadi fermentasi secara alami selama kurang lebih 10 jam. Prof Massiomo Marcone dari Kanada menyebutkan bahwa fermentasi dalam percernaan luwak menjadikan kualitas kopi semakin tinggi. Selain berada pada suhu fermentasi optimal 24 – 26 °C, yang dibantu oleh enzim dan bakteri dalam pencernaan luwak.

Apakah biji kopi yang keluar dari perut luwak bersama kotorannya itu hukumnya HALAL untuk dikonsumsi? Bukankah telah tercampur dengan najis, yaitu feses luwak? Untuk membahas masalah ini, para fuqaha’ telah mengkajinya ratusan tahun silam. Dalam menghukumi apakah kopi luwak halal atau haram, kajian fiqih mengawalinya dari paradigma atau pertanyaan, apakah kopi yang berada di dalam pencernaan luwak yang kemudian keluar bersama kotorannya najis atau mutanajjis?

Apabila biji kopi yang keluar bersama kotoran luwak dihukumi najis, kopi luwak jelas tidak halal/haram dikonsumsi. Namun, jika biji kopi yang keluar dari perut luwak itu dihukumi mutanajjis (hanya bersentuhan najis/benda suci yang terkena najis), biji kopi itu dapat disucikan dengan air mutlak dan halal hukumnya untuk dikonsumsi. Tentu, setelah melalui proses dibersihkan, disangrai/digoreng, dan dilembutkan menjadi bubuk kopi.

Jadi, bagaimana pandangan fiqih terhadap masalah ini? Dalam buku-buku fiqih, disebutkan bahwa biji-bijian yang keluar bersama kotoran atau muntah hewan itu hukumnya mutanajjis, dengan syarat biji – bijian itu keras, utuh (tidak berubah bentuk), yang indikasinya apabila biji-bijian itu ditanam, bisa tumbuh. Biji-bijian tersebut bisa menjadi suci dengan dicuci air mutlak dan halal dimakan. Namun, apabila biji-bijian itu telah berubah, dihukumi najis.

Dan dalam kitab Fathul Mu’in dengan syarah I’anah Ath-Thalinin juz 1, juga disebutkan bahwa apabila ada hewan memuntahkan biji-bijian atau keluar dari perutnya bersama fesesnya/kotorannya, lalu biji-bijian itu keras, masih utuh maka jika ditanam kembali bisa tumbuh, biji-bijian itu pun hukumnya mutanajjis (tidak najis). Biji-bijian itu menjadi suci dengan cara dicuci dan halal dimakan.

Hal yang sama disebutkan dalam kitab Majmu’ Syarah Muhazzab juz II : Imam Nawawi pada bab najis. Dengan demikian, apabila kopi luwak yang keluar dari perut luwak bersama kotorannya tersebut masih dalam kondisi utuh dan dipastikan tidak ada kotoran luwak yang merembes/masuk kedalam biji kopi tersebut; kopi luwak itu hanya mutanajjis (terkena/bersentuhan najis) sehingga bisa menjadi suci dengan cara dicuci dengan air mutlak. Hal ini akan membuat hilang ketiga macam sifatnya (warna, rasa, dan bau najis/feses luwak).

Menurut Koordinator Tenaga Ahli LPPOM MUI Dr Khaswar Syamsu, yang juga seorang dosen IPB. Beliau mengatakan bahwasanya kopi yang keluar bersama kotoran luwak itu ketika ditanam masih dapat tumbuh. Hal yang sama dikemukakan oleh salah seorang petani kopi luwak.

Apabila kita telah yakin pada hal ini, kita dapat menjadikan ini jawaban juga sebagai pedoman untuk isbat al-Hukm Asy-Syar’i (menetapkan hukum Islam) atau berfatwa. Kita tidak perlu lagi mengundang para ahlinya. Tapi, jika kita belum yakin dengan hal tersebut, maka kita perlu mengundang para ahlinya untuk meyakinkan. Hal ini dilakukan agar fatwa yang sudah dikeluarkan benar-benar berdasarkan ilmu pengetahuan dan kebenaran.

Jika biji kopi itu benar-benar masih utuh dan tidak berubah bentuk, maka bisa dinyatakan sebagai barang suci yang terkena najis atau di sebut mutanajjis (bukan najis). Ia akan menjadi suci dan halal setelah dicuci dengan air mutlak dengan menghilangkan tiga sifatnya (rasa, bau, dan warna). Hal ini sejalan dengan kaidah hukum Islam, Wal-Aslu Baqau Ma Kana ‘ala Ma Kana. Artinya, “Pada dasarnya, segala sesuatu itu dihukumi sesuai dengan hukum asalnya (yang telah ada padanya).”

0 comments:

Post a Comment