Wednesday 29 January 2014

Islam, Kesehatan, Sains
tape_singkongSiapa yang tak kenal tape? Makanan yang dulu hanya dijumpai saat hari besar keagamaan, kini sangat mudah ditemui dan dinikmati. Saat ini banyak kalangan masyarakat yang membuat tape ketan karena selain Indonesia memang merupakan penghasil beras ketan yang lumayan besar, juga keinginan mereka untuk meningkatkan nilai tambah bahan baku tersebut. Makanan ini cukup menarik, apalagi bila dihidangkan untuk campuran es atau dalam keadaan dingin. Cukup menyegarkan dan nikmat ketika dikonsumsi saat cuaca panas menyengat.


Pembuatan tape ini sangatlah mudah dan murah. Beras ketan yang telah tersedia dicuci bersih kemudian dikukus. Jika pengukusan beras ketan usai lalu didinginkan. Langkah selanjutnya adalah menaburinya dengan ragi. Melalui ragi inilah terjadi proses fermentasi yang mengubahnya menjadi tape. Dan pada saat peragian pula, terjadi perubahan bentuk dari pati menjadi glukosa yang pada akhirnya menghasilkan alkohol. Maka tape ketan ini merupakan penganan yang mengandung alkohol. Maka, melanggar syariatkah bila kita mengonsumsinya?

    Reaksi kimia pada tape:

Karbohidrat + peragian ==> glokusa + peragian ==> etanol
 Atau lebih jelasnya:
polisakarida (pati,tepung,umbi, dll) + enzim ==> maltosa/glukosa + enzim

Penelitian  tape ketan yang dilaporkan pada jurnal ilmiah International Journal of Food Sciences and Nutrition volume 52, bahwa kadar etanol (alkohol) yang diperoleh berdasarkan pengukuran dengan menggunakan kit yang diperoleh dari Boehringer Mannheim:

Kadar etanol (%) pada 0 jam fermentasi tidak terdeteksi,
setelah 5 jam fermentasi kadar alkoholnya 0.165%,
setelah 15 jam 0.391%,
setelah 24 jam 1.762%,
setelah 36 jam 2.754%,
setelah 48 jam 2.707%
setelah 60 jam 3.380%.

Dari data tersebut terlihat bahwa setelah fermentasi 1 hari saja kadar alkohol tape telah mencapai 1.76%, sedangkan setelah 2.5 hari (60 jam) kadarnya menjadi 3.3%, bisa dibayangkan jika dibiarkan terus beberapa hari, bisa mencapai berapa %? Memang tidak akan naik terus secara linear, akan mencapai kadar maksimum pada suatu saat. Jika batas kadar alkohol yang diterapkan pada minuman ini diterapkan pada tape maka jelas tape ketan tidak boleh dimakan karena kadar alkoholnya lebih dari 1%.

“Semua yang memabukkan berarti khamr, dan setiap khamr adalah haram.” (Riwayat Muslim)

Khamar adalah zat di dalam makanan atau minuman yang bila dikonsumsi oleh orang normal (yang bukan pemabuk) maka menimbulkan efek memabukkan. Tidak semua yang memabukkan itu mengandung alkohol dan tidak semua bahan yang mengandung alkohol membuat mabuk.

Minum bir, vodka, wiski, wine, rhum, sampanye, arak, sake, dan sejenisnya sudah terbukti membuat mabuk, maka semua itu tergolong khamar dan hukum meminumnya adalah haram. Di dalam minuman seperti itu terkandung alkohol (etanol). Sedangkan narkoba seperti heroin, mariyuana, pil ekstasi, pil dextro, sabu-sabu, dan lain-lain tidak mengandung alkohol tetapi dapat menimbulkan efek mabuk (fly), maka narkoba tergolong khamar dan mengkonsumsinya haram. Termasuk juga dalam hal ini aktivitas ngelem (menghirup bau lem aica aibon yang sering dilakukan anak jalanan) yang dapat menimbulkan efek mabuk maka mengkonsumsi lem itu haram (namun memakainya untuk melem bahan kertas atau kayu tentu tidak haram).

Nah yang menjadi permasalahan adalah bagaimana dengan masyarakat yang sering mengkonsumsi tape? Bagaimana pula orang bandung yang selalu mengkonsumsi peuyem?

Meski mengandung alkohol, tape ketan tak dinyatakan sebagai jenis penganan yang haram. Sebab, alkohol yang dihasilkan tetap menyatu dengan bahan utama tape ketan atau menyatu dengan padatannya. Persoalannya akan lain jika tape ketan itu kemudian diperas atau disarikan. Sari yang berbentuk cairan sudah pasti dinyatakan sebagai minuman beralkohol. Hukumnya pun telah berubah menjadi haram. Bila air tape ketan dipisahkan dari padatannya maka sudah dapat dikatakan sebagai minuman yang beralkohol. Sebaliknya, kalau masih dalam bentuk aslinya, yaitu tape ketan, tidak termasuk dalam golongan itu.

Alkohol itu merupakan bagian inheren atau hasil proses pembuatan sebuah penganan itu tak menjadi soal. Jadi tidak ada masalah dengan status kehalalan tape ketan itu sendiri. ‘Di samping itu, tampaknya tak ada orang yang mabuk setelah mengonsumsi tape ketan. Pasalnya, tak hanya tape ketan saja yang merupakan hasil fermentasi dan mengandung alkohol di dalamnya. Meski tentunya akan mengalami kadar yang berbeda. Contohnya adalah tempe, kecap kedelai, bahkan acar pun mengalami fermentasi dan mengandung alkohol.

Namun, tidak ada masalah tentang status makanan tersebut. Durian yang tengah ranum sebenarnya juga mengandung alkohol. Namun, tak ada yang menyatakan bahwa buah itu hukumnya haram. Meski demikian, ada sebagian kalangan masyarakat yang cenderung menganggap bahwa tape ketan hukumnya haram, karena kandungan alkohol yang ada di dalamnya. Namun, mungkinkah proses fermentasi melalui peragian itu dapat ditinggalkan? Tanpa peragian maka tak dapat dikatakan sebagai tape.

Kemungkinan yang dapat dilakukan adalah dengan mengurangi kadar proses peragian. Biasanya, proses peragian dilakukan selama 48 jam. Guna mengurangi kadar alkohol yang dihasilkan dari proses tersebut, maka lamanya dapat dikurangi. Proses fermentasi melalui peragian yang lebih lama akan meninggalkan kadar alkohol yang tinggi. Untuk mencegah tingginya kadar alkohol di dalamnya, para produsen tape biasanya melakukan proses pasteurisasi. Yaitu, memanaskan tape ketan tersebut dalam suhu 70 hingga 80 derajat Celcius. Dengan demikian, setelah proses tersebut fermentasi akan terhenti dengan sendirinya.

Karenanya banyak produsen yang tak membiarkan proses fermentasi berlangsung lebih lama. Selain itu, memang dimaksudkan agar tape ketan tak terasa pahit. Dampak lainnya, jika produsen menjalankan pasteurisasi maka lamanya penyimpanan takkan memberikan pengaruh dengan kadar alkohol. Walaupun diakui terdapat perubahan enzimatik di dalamnya, namun mikroba yang berperan dalam fermentasi telah terlebih dahulu dihentikan. Jika tidak maka akan terjadi fakultatif fermentasi. Dengan demikian produsen memang perlu menghentikan proses fermentasi tersebut dengan pasteurisasi.

Begitu pula dengan buah-buahan yang mengandung alkohol tinggi (4-8%) seperti : durian, lengkeng, sirsak, nangka, dll. Ternyata tidak ada satupun ayat Qur’an maupun Hadits Nabi SAW. yang mengharamkan buah-buahan tersebut. Mengapa? Karena ketika kita konsumsi dalam jumlah banyak, ternyata hal tersebut tidak menjadikan kita mabuk atau kehilangan akal/kesadaran.

Analogi dengan tape adalah durian dan buah pir. Di dalam kedua buah itu juga terkandung senyawa alkohol tetapi sebanyak apapun orang makan durian tidak menyebabkan mabuk, berarti durian dan buah pir tidak tergolong khamar. Kalau terlalu banyak makan durian bisa mengakibatkan kadar koleterol di dalam darah meninggi sehingga orang yang mempunyai penyakit darah tinggi, jantung, asam urat, dsb sebaiknya tidak makan durian.

Jadi tidak selamanya minuman yang mengandung alkohol itu haram. Oleh karena itu selama hasil fermentasi tidak menghasilkan kadar alkohol yang memabukkan, maka meminumnya tetap halal. Meminum khamar baik sedikit atau banyak tetap saja haram hukumnya. Ada orang yang berkilah minum bir sedikit saja kan tidak apa-apa karena tidak membuat mabuk. Tetapi, biar sedikit kalau memang tergolong khamar tetap saja haram.

“Minuman apapun kalau banyaknya itu memabukkan, maka sedikitnya pun adalah haram.” (Riwayat Ahmad, Abu Daud, Tarmizi)

Jadi, jika anda mencampurkan setetes wiski ke dalam air minum, maka air minum itu menjadi haram. Hal yang sama juga dilakukan pembuat kue yang menambahkan rhum pada adonan kue sus, black forest, atau klappertaart, maka kue yang sudah ditambah rhum itu menjadi tidak halal dimakan, karena rhum tergolong khamar.

Jangankan meminumnya, bahkan memperjual belikannya juga haram, sebagaimana hadits berikut:

“Sesungguhnya Allah telah mengharamkan khamr, maka barangsiapa yang telah mengetahui ayat ini dan dia masih mempunyai khamr walaupun sedikit, jangan minum dan jangan menjualnya.” (Riwayat Muslim)

“Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam melaknat tentang khamr, sepuluh golongan: (1) yang memerasnya, (2) yang minta diperaskannya, (3) yang meminumnya, (4) yang membawanya, (5) yang minta dihantarinya, (6) yang menuangkannya, (7) yang menjualnya, (8) yang makan harganya, (9) yang membelinya, (10) yang minta dibelikannya.” (Riwayat Tarmizi dan Ibnu Majah)

0 comments:

Post a Comment