Sunday, 26 January 2014

Dinamika Politik Di Indonesia

Posted by bayu hidayat on 11:07 with No comments
Pasca tumbangnya Orde Baru, ‘reformasi’ adalah salah satu kata yang tiap hari muncul sebagai wacana publik. Dari mulai diskusi yang berlangsung di ruang-ruang seminar sampai obrolan warung kopi, kata ‘reformasi’ hampir selalu tampil sebagai topik utama pembicaraan. Reformasi bukan saja menjadi kata yang sangat bertuah di satu sisi, namun juga menjadi jargon yang sangat laris di sisi lain. Tema reformasi politik menjadi sebuah elan penting yang bukan saja menghiasi warna-warni partisipasi masyarakat, namun juga ekspresi penataan-penataan politik dan kelembagaan di tingkat negara. Tentu saja patut dipanjatkan harapan bahwa ‘reformasi’ tidak mengalami inflasi dan pemerosotan makna karena terlalu sering diucapkan bahkan secara agak jargonis. Harapan ini menjadi penting, sebab pada dasarnya reformasi politik di Indonesia masih jauh dari tempat tujuannya. Karena itu, masih sangat dibutuhkan keseriusan dan komitmen tinggi untuk menuntaskan perubahan-perubahan politik untuk mencapai kehidupan bernegara yang lebih baik. Keseriusan dan komitmen tinggi ini akan jadi seperti ‘pahlawan kesiangan’ apabila ‘reformasi’ keburu menjadi basi, klise dan jargonis. Terlebih apabila hal itu juga diimbuhi dengan kekecewaan masyarakat akibat ‘reformasi’ yang menjadi pemegang estafet berikutnya dari ‘revolusi’ dan kemudian ‘pembangunan’ pada zamannya masing-masing: jargon-jargon pemberi legitimasi bagi kiprah penguasa semata-mata. Kenyataan terutama pada tingkat lokal kerapkali menunjukkan bahwa proses reformasi politik di Indonesia memiliki banyak rupa dan warna. Jika di tingkat nasional reformasi rasa-rasanya terlalu banyak berkait dengan persoalan rotasi kekuasaan dan reformulasi lusinan regulasi negara, maka reformasi di tingkat lokal terasa seperti pembalikan secara mendasar sebagian besar pola-pola relasi kekuasaan intra negara, negara dan masyarakat, serta intra masyarakat. Repotnya, negara di tingkat lokal seolah bukan saja kalah cepat, tapi juga kerap tersimak kalah lihai dibandingkan masyarakat. Dalam banyak hal, kasus reformasi menunjukkan tipikalitas taktik kaum lemah dalam menghadapi kekuasaan otoriter, yakni pemanfaatan ruang pemaknaan di pinggiran pentas-pentas politik, ketika negara di tingkat lokal masih sibuk dalam pembenahan diri yang seolah tak pernah akan usai. Pada tingkat akar rumput, reformasi umumnya dimaknai sebagai ‘pembebasan’ dari segala simbolisasi kekuasaan negara. Maka tak heran jika ekspresi-ekspresi awal euforia reformasi di tingkat lokal banyak mengambil rupa perlawanan terhadap kepala desa, pembangkangan terhadap aturan lalu lintas, pendudukan tambak dan kebun oleh masyarakat, dan semacamnya. Hal ini tentu bukan mengatakan bahwa reformasi politik hanya menarik dilihat dari aspek perlawanan masyarakat terhadap simbol-simbol negara semata-mata. Hanyasaja, penting untuk memahami bahwa arus-arus reformasi politik di tingkat lokal berjalan jauh lebih menarik ketimbang apa yang terjadi di tingkat nasional. Oleh karena itu, berbeda dengan buku tentang reformasi lainnya yang dewasa ini sudah banyak dipublikasikan dan sebagian besar memotret dinamika sosial-ekonomi-politik yang berlangsung di pusat (Jakarta), buku ini hendak mengajak pembaca untuk lebih banyak menyoroti dan mengungkap dinamika reformasi yang terjadi di tingkat lokal. Buku ini terdiri dari 14 (empatbelas) bab yang dikelompokkan dalam 4 (empat) bagian. Bagian pertama buku ini berisi dua tulisan yang secara umum berbicara tentang konteks sosial-ekonomi-politik yang melatarbelakangi reformasi di Indonesia dan prospeknya ke depan. Dalam paparannya, Jim Schiller menyimpulkan bahwa empat tahun sejak jatuhnya Soeharto pada tahun 1998, kehidupan sosial-ekonomi-politik di Indonesia ternyata belum banyak mengalami perubahan dan masih berada dalam ruang yang penuh dengan ketidakpastian. Saat ini formula-formula baru, institusi baru, dan gaya politik baru sedang diuji coba. Untuk mengatasi ketidakpastian ini beberapa prasyarat penting yang harus dilakukan adalah memberikan peran kepada lebih banyak warga di dalam kehidupan ekonomi dan memberikan ruang berekspresi tentang bagaimana cara mengelola desa mereka, kampung, kabupaten, dan pemerintah pusat. Hal itu juga harus diikuti dengan keyakinan akan terbukanya kemungkinan untuk hidup dalam ketidakpastian dan keragaman. Mesti dipahami pula bahwa suara-suara yang menentang dan kritik luar negeri bukanlah rongrongan terhadap eksistensi Indonesia. Jika Indonesia mampu melewati dekade mendatang, hal itu jelas akan menjadi prestasi tersendiri. Senada dengan itu, Pratikno mengingatkan, bahwa pilihan desentralisasi yang saat ini dilaksanakan pun bukanlah sebuah solusi final. Memang kegagalan pemerintahan Sukarno dan Soeharto dalam membangun dukungan daerah terhadap pemerintahan nasional merupakan rujukan obyektif bagi perlunya desentralisasi. Namun pilihan kebijakan ini tidak lahir secara cuma-cuma. Tekanan politik dari masyarakat secara massif yang menuntut desentralisasi dan demokratisasi kepada pemerintah pusat yang sedang mengalami krisis legitimasi merupakan variabel penting yang melatarbelakanginya. Dengan demikian sangat mungkin kebijakan desentralisasi tersebut direvisi jika dalam pelaksanaannya pemerintah pusat kembali mendapatkan basis legitimasinya, terutama bila desentralisasi tidak membawa perubahan yang lebih baik bagi masyarakat. Oleh karena itu tulisan ini mengajukan argumentasi bahwa kebijakan desentralisasi 1999 bukan merupakan kebijakan final. Perkembangan kombinasi antara tekanan masyarakat dan legitimasi pemerintah pusat telah dan akan ikut menentukan nasib kebijakan desentralisasi pasca 1999. Bagian kedua dari buku ini dibuka dengan tulisan Cornelis Lay yang menuturkan terjadinya perubahan mendasar terhadap karakteristik relasi kekuasaan, baik itu diantara lembaga-lembaga politik nasional maupun antara pusat dengan daerah semenjak diberlakukannya UU No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 4/1999 tentang Pemilu. Pelaksanaan kedua UU tersebut juga berakibat terjadinya pergeseran format politik dari bureaucratic government kepada party government, baik di tingkat nasional maupun daerah. Akan tetapi perubahan tersebut sekarang ini masih bersifat transisional, sehingga menghadapi dilema dan tantangan dalam bentuk ketegangan yang serius antara birokrasi dengan partai politik. Pada tingkat tertentu ketegangan ini dapat berakibat pada macetnya mekanisme politik bagi pengambilan keputusan di daerah sebagai akibat dari boikot yang dilakukan kalangan politisi DPRD. Ketegangan politik bisa jadi juga akan berakibat serius pada runtuhnya semua kerangka prosedural-administratif dan hierarkhi yang dibangun secara internal oleh eksekutif ketika prosedur baku tersebut dilangkahi oleh politisi. Sebaliknya elit biokrasi juga berpotensi untuk melakukan hal yang sama dengan tidak mengindahkan dan mereduksi keputusan yang diambil oleh politisi di DPRD. Paparan Riswandha Imawan dan Mada Sukmajati tentang apa yang terjadi di Madiun agaknya semakin memperkuat argumen di atas. Dari sisi tertentu tarik menarik kepentingan antara politisi dan birokrasi memang menunjukkan adanya kehidupan politik yang semakin dinamis di daerah. Namun di sisi lain, hal itu sekaligus menunjukkan kalau otonomi daerah belum sepenuhnya bisa mendorong partisipasi masyarakat secara otentik, dan masih rawan intervensi pusat. Kalau dulu intervensi dilakukan melalui jalur birokrasi, maka untuk konteks sekarang, jalur intervensi tersebut mulai bergeser melalui partai politik. oleh karena itu, rekomendasi penting dari pengalaman tersebut adalah perlunya segera dibuat Undang-Undang yang mengatur sistem kepartaian yang tidak lagi sentralistik dan lebih responsif terhadap dinamika politik daerah. Kurang lebih sejalan dengan argumentasi tentang sulitnya sinkronisasi antara dua arus relasi yang dipaparkan dalam bab di atas, tulisan Abdul Gaffar Karim menggambarkan pola hubungan elit formal di tingkat lokal dalam konteks pergeseran locus politik pasca desentralisasi dan liberalisasi politik. Penguatan legislatif ternyata tidak dibarengi oleh rancangan agenda yang disepakati bersama dengan eksekutif. Akibatnya, penguatan tersebut belum banyak membawa implikasi positif bagi demokratisasi, dan bahkan membawa persoalan dalam hubungan eksekutif-legislatif di daerah. Dalam bab berikutnya, tulisan Purwo Santoso dan Adam Tirta menguak fenomena kemenangan Golkar pada pemilu 1999 di Takalar Sulawesi Selatan. Secara konseptual kita pasti akan membayangkan bahwa Golkar sebagai mesin politik Orde Baru akan tergulung derasnya arus reformasi yang melanda Indonesia. Namun untuk kasus Takalar hal tersebut nampaknya tidak berlaku. Meskipun masih memerlukan pembuktian lebih jauh lagi, pada bagian terakhir tulisan ini disimpulkan bahwa kemenangan Golkar di Takalar bukanlah sebuah bentuk ekspresi pembelaan masyarakat terhadap Orde Baru, tetapi lebih karena fungsionalnya Golkar sebagai perangkat untuk menjaga lembaga-lembaga politik lokal yang terporoskan pada sosok-sosok informal. Bagian ketiga buku ini secara khusus mengurai dinamika yang terjadi pada aras masyarakat sipil selama era reformasi. Periode 1998 sampai dengan menjelang pemilu 1999 merupakan periode kebangkitan masyarakat sipil di Indonesia. Dimana-mana, di hampir semua daerah elemen-elemen masyarakat sipillah yang pada akhirnya berhasil menyatukan sikap, menjebol pintu otoritarianisme, sekaligus menghantarkan Indonesia ke gerbang pintu demokrasi. Apa yang dituliskan secara lugas oleh Anton Lucas tentang dinamika reformasi di Kota Tegal misalnya, bisa jadi adalah sebuah potret betapa maraknya dinamika reformasi di kota-kota kecil yang selama ini tidak terjangkau liputan media. Jatuhnya Soeharto pada tanggal 21 Mei 1998 seolah menjadi inspirasi berbagai elemen masyarakat Tegal untuk membentuk komite-komite sebagai wadah perjuangan mereka dalam menuntut turunnya Walikota Tegal yang korup dan tidak bermoral. Tidak kalah menariknya adalah kemunculan perlawan-perlawanan sektoral di tingkat masyarakat. Salah satu persoalan penting yang disisakan oleh Orde Baru adalah sengketa pertanahan antara masyarakat dengan negara. Ketika negara mulai lemah di hadapan masyarakat, sengketa pertanahan ini kerap mencuat ke permukaan, bahkan tidak jarang berujung pada kekerasan. Miftah Adhi Ikhsanto pada bab ini mengulas secara detail perlawan yang dilakukan kaum tani terhadap negara di area Perkebunan Petung Ombo, dimana energi penggerak perlawanan kaum tani lebih didasari pada hal-hal yang bersifat struktural. Pada bab selanjutnya, Elizabeth Morrell membahas kemunculan pers baru di Sulawesi Selatan, serta kaitannya dengan proses reformasi yang sebelumnya merupakan ‘benda abstrak’ yang sekarang sedang diwujudkan secara lebih nyata. Kemunculan pers baru di Sulawesi Selatan bukanlah merupakan penyebab utama terjadinya reformasi. Kemunculan pers baru adalah cermin adanya upaya-upaya untuk memberikan dukungan penguatan sikap dan daya kritis masyarakat terhadap perubahan yang sedang berlangsung. Sebagai pers rakyat, pers baru tersebut banyak beredar di masyarakat bawah, sehingga menjadi sarana informasi dan pendidikan masyarakat luas. Bagian terakhir buku ini mengupas secara tajam relasi antara negara, masyarakat politik, dan masyarakat sipil yang terjadi di tingkat lokal. Hasil pengamatan Jim Schiller terhadap masyarakat sipil di Jepara selama pemilu 1999 menunjukkan adanya dua elemen (model) masyarakat sipil di Jepara, yaitu masyarakat sipil inklusif dan masyarakat sipil eksklusif. Pada tingkat tertentu, NU telah mampu menyelenggarakan aktivitas dan mempraktikkan kebijakan dan hasil politik yang membangun kesaling percayaan dan sikap inklusif. Reformasi dan pemilu 1999 telah menguji inklusivitas tersebut. Meskipun terjadi konflik antara PPP dan PKB yang berujung pada kekerasan, namun karena adanya kerendahan hati NU dan PKB dalam menyikapi kekalahan hasil pemilu, akhirnya mampu menumbuhkan budaya kewargaan (civic culture) dimana derajat saling percaya di antara pemimpin di Jepara meningkat. Sedangkan PPP dengan permusuhannya terhadap pemerintah, NU dan pendirian PKB dalam hal tertentu mempresentasikan model masyarakat sipil yang eksklusif. Akan tetapi kemenangannya dalam pemilu dan kerja-samanya dengan PKB ketika Ketua PPP terpilih sebagai Ketua DPRD menunjukkan bahwa masyarakat sipil mungkin menjadi kurang terpecah. Dalam jangka panjang, temuan mereka tentang kelompok-kelompok lain yang bersedia berkompromi mungkin akan memoderasi PPP dan membuatnya menjadi lebih inklusif. Sementara, pada bab berikutnya Himawan Bayu Patriadi memaparkan secara detail dinamika politik lokal yang terjadi di Jember dalam pemilihan bupati periode 2000-2005. Pemilihan Bupati Jember tersebut menarik untuk dipotret karena merupakan pemilihan kepala daerah pertama di era reformasi. Tulisan ini memaparkan tiga substansi penting, pertama, proses pemilihan itu sendiri, baik pada masa pemilihan maupun dinamika politik pasca pemilihan. Kedua, tentang gerakan politik yang mewarnai pemilihan tersebut, dan ketiga, pemetaan kekuatan politik lokal yang ikut bermain dalam pemilihan. Namun reformasi tidak selamanya membuahkan sikap optimistik yang mampu menggerakkan masyarakat. Tulisan Jamie S. Davidson yang menceritakan tentang penyelundupan kayu ilegal oleh Kapal Motor Clover di Pelabuhan Pontianak adalah salah satu kisah betapa meskipun sudah ada bukti kuat terjadinya KKN namun hal itu ternyata belum bisa menjadi pemicu protes sosial seperti yang diharapkan. Meskipun sudah terpublikasikan secara luas, namun ternyata kasus penyelundupan tersebut gagal menggerakkan reformasi yang berarti di Pontianak. David Mitchell dan Tuti Gunawan pada bab berikutnya mengisahkan rumitnya jalan menuju reformasi di Sumba Barat. Bagain pertama dari tulisan mereka mengisahkan akhir masa jabatan Soeharto pada bulan Mei 1998 yang diikuti oleh menajamnya konflik di kalangan elit politik Orde Baru di Kabupaten Sumba Barat. Mobilisasi para pendukung Bupati Rudolf Malo yang berlatar belakang militer, dan Ketua DPRD T. Lero Ora, seorang politisi sipil, memuncak di luar kendali dan berujung pada peristiwa perang antara etnis Wewewa dan Loli, yang sering disebut sebagai Kamis Berdarah. Sedangkan bagian kedua tulisannya menggambarkan proses pemulihan ketertiban dan pencarian jalan keluar dari konflik.Bagian terakhir ini ditutup dengan tulisan AAGN. Ari Dwipayana dan I Gusti Ngurah Putra yang mengulas tentang konflik antara adat, negara, dan kapital di Bali. Lewat pendekatan ekonomi-politik mereka memaparkan dua sumber konflik di Bali. Pertama, kehadiran para investor yang berdampak pada perubahan konfigurasi sosial dalam desa adat. Kedua, kekaburan sistem pemerintahan lokal yang diterapkan di Bali pada masa Orde Baru dimana terdapat dualisme pengertian tentang desa, yaitu desa adat dan desa dinas. *** Tulisan-tulisan dalam buku ini sebagian berasal dari makalah-makalah yang dipresentasikan dalam sebuah seminar yang diselenggarakan di Yogyakarta pada tahun 2000. Seminar itu pulalah yang terutama mengilhami diterbitkannya buku ini. Akan tetapi, mengingat amat derasnya arus perubahan politik Indonesia sejak tahun 2000 hingga tahun 2002 (yakni saat naskah buku ini secara intensif mulai dibicarakan), maka makalah-makalah dalam seminar tersebut menjadi terlalu ‘sepi’ jika diterbitkan begitu saja dalam sebuah buku yang diambisikan untuk menyoroti jalan terjal reformasi politik lokal di Indonesia

Maka penulis-penulis lain kemudian dikontak untuk memberikan kontribusi tulisannya. Sebagian tulisan-tulisan yang berhasil dikumpulkan kemudian itu adalah naskah yang belum pernah dipublikasikan sebelumnya, namun sebagian yang lain sudah pernah dipublikasikan dalam bentuk artikel jurnal ataupun bab buku. Atas seijin editor dan/atau penulis, naskah-naskah yang sudah pernah dipublikasikan tersebut kembali kami terbitkan dalam bentuk buku yang saat ini ada dihadapan sidang pembaca. Oleh karena itu, penghargaan dan terima kasih yang sebesar-besarnya perlu kita sampaikan pada seluruh kontributor tulisan dalam buku ini. Dan akhirnya, patutlah kita berharap semoga buku ini bisa memperkaya perspektif pemahaman tentang dinamika politik lokal di Indonesia pasca reformasi politik 1998.***

0 comments:

Post a Comment