Honda, salah satu perusahaan raksasa dari Jepang, yang didirikan oleh oleh Soichiro Honda pada tahun 1948 dan tetap bertahan hingga sekarang.
Soichiro Honda
Soichiro Honda, lahir di Yamahigashi pada 17 November 1906. Ayahnya, Gihei Honda, adalah pandai besi lokal tapi tangannya sangat dingin dalam memproduksi aneka barang termasuk alat kedokteran gigi ketika ada kebutuhan. Ibunya, Mika, adalah seorang penenun.
Sepanjang hidupnya, Soichiro Honda tidak akan pernah melupakan hari saat ia melihat mobil pertama kalinya. Yamahigashi yang merupakan sebuah desa kecil di Shizuoka (sekarang disebut Tenryu-shi) tiba-tiba bising oleh suatu suara aneh. Soichiro kecil awalnya keheranan ada suara bising yang kian mendekat. Suara tersebut datang dari benda yang mendekati dirinya bersama debu yang tebal yang mengiringinya. Setelah benda aneh tersebut lewat,ada bagian dari dirinya yang menggelegak menyuruhnya mengejar benda tersebut. Maka ia berlari sekuat tenaga mengejar dan ingin menyentuhnya. Tetapi sekuat apapun ia mencoba menggapai, benda tersebut semakin jauh meninggalkan dirinya. Ia tidak habis mengerti bagaimana benda yang tidak ditarik oleh kuda atau manusia bisa bergerak sendiri. Kegagalannya menggapai mobil pertama yang ia lihat tersebut seakan menjadi simbol untuk hidupnya: ia selalu mengejar sesuatu yang saat itu masih di luar jangkauannya. Setelah mobil tersebut jauh meninggalkannya, Soichiro berhenti sambil terengah-engah dan melihat tetesan bensin atau oli di tanah berdebu. Soichiro kecil menggosokkan tangannya ke tetesan di tanah tersebut dan menghirup baunya laksana seorang yang sedang kehausan di padang pasir menemukan tetesan air.
Pengalaman itu menanamkan tekad untuk mengembangkan teknologi. Keluarga Gihei Honda tidak kaya, tetapi ia menanamkan anak-anaknya etika kerja keras dan kasih terhadap hal-hal mekanis. Soichiro segera belajar bagaimana mengasah pisau mesin pertanian dan bagaimana membuat mainan sendiri. Ia juga sangat tertarik dengan suara mesin penggilingan padi di dekat desanya yang membuatnya meminta sang kakek mengantar untuk melihatnya.
Di sekolah, ia mendapat julukan ‘hidung hitam musang’ karena wajahnya selalu kotor akibat membantu ayahnya di bengkel. Ia bukan siswa yang memiliki otak cemerlang. Di kelas, duduknya tidak pernah di depan, selalu menjauh dari pandangan guru. Harinya dipenuhi dengan kecerdikan teknis, termasuk kesempatannya belajar hal-hal teknis dari bengkel sepeda ayahnya. Ayahnya selalu memberinya catut untuk mencabut paku. Ia juga sering bermain di tempat penggilingan padi melihat mesin diesel yang menjadi motor penggeraknya. Di situ, lelaki ini dapat berdiam diri berjam-jam. Tak seperti kawan sebayanya kala itu yang lebih banyak menghabiskan waktu bermain penuh suka cita. Dia memang menunjukkan keunikan sejak awal.
Saat merintis bisnisnya, Soichiro Honda selalu diliputi kegagalan. Ia sempat jatuh sakit, kehabisan uang, dan dikeluarkan dari kuliah. Ia gagal menyandang gelar insinyur. Namun ia terus bermimpi dan bermimpi. Impian itu akhirnya terjelma dengan bekal ketekunan dan kerja keras.
Pada tahun 1917 saat Honda berumur 8 tahun, seorang pilot bernama Art Smith berkunjung ke lapangan udara militer Wachiyama untuk menunjukkan kemampuan aerobatiknya. Honda langsung membongkar kotak kas kecil keluarga, ‘meminjam’ salah satu sepeda ayahnya dan melaju sejauh 20 kilometer ke tempat yang belum pernah ia kunjungi untuk melihat pesawat. Ketika sampai di sana, ia segera menyadari bahwa tiket masuk, apalagi berkaitan dengan penerbangan, jauh melampaui kemampuannya. Tapi ia tidak berputus asa. Setelah memanjat pohon, ia bisa melihat pesawat bergerak dan itu sudah cukup. Ketika Gihei Honda melihat apa yang dilakukan anaknya untuk sampai ke bandara, dia tidak marah tetapi justru terkesan dengan tekad, inisiatif, dan resiko besar dimarahi karena mengambil uang dan sepeda.
Ketika 12 tahun, Soichiro Honda berhasil menciptakan sebuah sepeda pancal dengan model rem kaki. Sampai saat itu, di benaknya belum muncul impian menjadi usahawan otomotif karena dia sadar berasal dari keluarga miskin. Apalagi fisiknya lemah, tidak tampan, sehingga membuatnya selalu rendah diri.
Di usia 15 tahun, Honda pindah ke kota untuk bekerja di Hart Shokai Company. Saka Kibara bossnya sangat senang melihat cara kerjanya. Honda teliti dan cekatan dalam soal mesin. Setiap suara yang mencurigakan, setiap oli yang bocor, tidak luput dari perhatiannya. Enam tahun bekerja di situ menambah wawasannya tentang permesinan.
Akhirnya pada usia 21 tahun, Saka Kibara menawarkannya membuka suatu kantor cabang di Hamamatsu yang tidak ditolaknya. Di Hamamatsu prestasi kerjanya kian membaik. Ia selalu menerima reparasi yang ditolak oleh bengkel lain. Kerjanya pun cepat memperbaiki mobil sehingga pelanggan datang kembali. Karena itu, jam kerjanya tak jarang hingga larut malam dan terkadang sampai subuh. Yang menarik, walau terus kerja lembur otak jeniusnya tetap kreatif. Kejeniusannya membuahkan fenomena. Pada zaman itu, jari-jari mobil terbuat dari kayu, hingga tidak baik untuk kepentingan meredam goncangan. Menyadari ini, Soichiro punya gagasan untuk menggantikan ruji-ruji itu dengan logam. Hasilnya luar biasa. Ruji-ruji logamnya laku keras dan diekspor ke seluruh dunia.
Pada usia 30 tahun, Honda menandatangani patennya yang pertama. Setelah menciptakan ruji, Honda membuat usaha bengkel sendiri dan melepaskan diri dari bosnya. Dari situ ia mulai berpikir, spesialis apa yang akan dipilih? Otaknya tertuju kepada pembuatan ring piston yang dihasilkan oleh bengkelnya sendiri pada 1938. Produk tersebut ditawarkannya itu ke sejumlah pabrikan otomotif.
Sayang, produknya ditolak Toyota karena dianggap tidak memenuhi standar. Ring Piston buatannya tidak lentur dan tidak laku dijual. Ia ingat reaksi teman-temannya terhadap kegagalan itu dan menyesalkan dirinya keluar dari bengkel milik Saka Kibara. Akibat kegagalan itu, Honda jatuh sakit cukup serius. Dua bulan kemudian, kesehatannya pulih kembali. Ia kembali memimpin bengkelnya. Tapi, soal ring pinston itu, belum juga ada solusinya. Demi mencari jawaban, ia kuliah lagi untuk menambah pengetahuannya tentang mesin. Siang hari setelah pulang kuliah, dia langsung ke bengkel mempraktekkan pengetahuan yang baru diperoleh di kampus. Tetapi setelah dua tahun menjadi mahasiswa, ia akhirnya dikeluarkan karena jarang mengikuti kuliah. ”Saya merasa sekarat, karena ketika lapar tidak diberi makan, melainkan dijejali penjelasan bertele-tele tentang hukum makanan dan pengaruhnya, ” ujar Honda yang diusia mudanya gandrung balap mobil. Kepada rektornya, ia jelaskan kuliahnya bukan mencari ijazah melainkan pengetahuan. Penjelasan ini justru dianggap penghinaan. Tapi dikeluarkan dari perguruan tinggi bukan akhir segalanya. Berkat kerja kerasnya, desain ring pinston-nya diterima pihak Toyota yang langsung memberikan kontrak. Ini membawa Honda berniat mendirikan pabrik. Impiannya untuk mendirikan pabrik mesinpun serasa kian dekat di pelupuk mata.
Tetapi malangnya, niatan itu kandas. Karena siap perang, Jepang tidak memberikan dana kepada masyarakat. Bukan Honda kalau menghadapi kegagalan lalu menyerah pasrah. Dia lalu nekad mengumpulkan modal dari sekelompok orang untuk mendirikan pabrik.
Namun lagi-lagi musibah datang. Setelah perang meletus, pabriknya terbakar, bahkan hingga dua kali kejadian itu menimpanya. Honda tidak pernah patah semangat. Dia bergegas mengumpulkan karyawannya. Mereka diperintahkan mengambil sisa kaleng bensol yang dibuang oleh kapal Amerika Serikat, untuk digunakan sebagai bahan mendirikan pabrik.
Penderitaan sepertinya belum akan selesai. Tanpa diduga, gempa bumi meletus menghancurkan pabriknya sehingga diputuskan menjual pabrik ring pinstonnya ke Toyota. Setelah itu, Honda mencoba beberapa usaha lain. Sayang semuanya gagal.
Pada bulan Oktober 1946, setelah perang, Jepang kekurangan bensin. Di sini kondisi ekonomi Jepang porak poranda sampai-sampai Honda tidak dapat menjual mobilnya akibat krisis moneter itu. Padahal dia ingin menjual mobil itu hanya untuk membeli makanan bagi keluarganya. Dalam keadaan terdesak ia lalu kembali bermain-main dengan sepeda pancalnya. Karena memang nafasnya selalu berbau rekayasa mesin, dia pun memasang motor kecil pada sepeda itu. Siapa sangka, sepeda pancal bermotor tersebut diminati oleh para tetangga. Jadilah dia memproduksi sepeda bermotor itu. Karena bensin sangat langka waktu itu, maka Honda mengembangkan sepeda bermesin tersebut menggunakan terpentin. Sepeda pancal bermesin tersebut harus digenjot terlebih dahulu baru bisa jalan. Sepeda bermotor ini menjadi cikal bakal lahirnya sepeda motor Honda, atau merupakan sepeda motor honda pertama. Para tetangga dan kerabatnya berbondong-bondong memesan sehingga Honda kehabisan stok. Honda kemudian mendirikan pabrik motor. Sejak itu, kesuksesan tak pernah lepas dari tangannya. Motor Honda berikut mobilnya menjadi raja jalanan dunia, termasuk Indonesia.
Soichiro Honda adalah seorang pembalap, bisnisman, dan seorang teknokrat sejati terbukti lebih dari 100 penemuannya telah dipatenkan. Disamping semua itu yang paling penting adalah Soichiro Honda itu adalah seorang pemimpi meskipun kegagalan selalu mengikuti hidupnya. Ia pernah berkata, ”Orang melihat kesuksesan saya hanya 1%, tapi mereka tidak melihat 99% kegagalan saya. Ketika anda mengalami kegagalan, maka segeralah mulai kembali bermimpi dan mimpikanlah mimpi baru”.
Semasa hidup Honda selalu menyatakan, jangan dulu melihat keberhasilannya dalam menggeluti industri otomotif tetapi lihatlah kegagalan-kegagalan yang dialaminya. Kisah Honda ini jelas merupakan contoh bahwa sukses bisa diraih seseorang dengan modal seadanya, tidak pintar di sekolah, dan hanya berasal dari keluarga miskin.
Di masa tuanya, Honda dan Sachi istrinya mengambil lisensi terbang, main ski, seluncur, dan naik balon meski usia sudah menginjak 77 tahun. Ia dan Fujisawa juga membuat kesepakatan untuk tidak pernah memaksa anak-anak mereka bergabung dengan perusahaan, karena di masa kecilnya Soichiro Honda tidak pernah ingin mengikuti ayahnya di bengkel atau toko sepeda. ”Nilaiku jelek di sekolah tapi aku tidak bersedih karena duniaku di sekitar mesin, motor dan sepeda,” tutur Soichiro yang meninggal pada 5 Agustus 1991 dengan usia 84 tahun delapan bulan setelah dirawat di RS Juntendo, Tokyo , akibat mengidap lever.
Soichiro Honda
Soichiro Honda, lahir di Yamahigashi pada 17 November 1906. Ayahnya, Gihei Honda, adalah pandai besi lokal tapi tangannya sangat dingin dalam memproduksi aneka barang termasuk alat kedokteran gigi ketika ada kebutuhan. Ibunya, Mika, adalah seorang penenun.
Sepanjang hidupnya, Soichiro Honda tidak akan pernah melupakan hari saat ia melihat mobil pertama kalinya. Yamahigashi yang merupakan sebuah desa kecil di Shizuoka (sekarang disebut Tenryu-shi) tiba-tiba bising oleh suatu suara aneh. Soichiro kecil awalnya keheranan ada suara bising yang kian mendekat. Suara tersebut datang dari benda yang mendekati dirinya bersama debu yang tebal yang mengiringinya. Setelah benda aneh tersebut lewat,ada bagian dari dirinya yang menggelegak menyuruhnya mengejar benda tersebut. Maka ia berlari sekuat tenaga mengejar dan ingin menyentuhnya. Tetapi sekuat apapun ia mencoba menggapai, benda tersebut semakin jauh meninggalkan dirinya. Ia tidak habis mengerti bagaimana benda yang tidak ditarik oleh kuda atau manusia bisa bergerak sendiri. Kegagalannya menggapai mobil pertama yang ia lihat tersebut seakan menjadi simbol untuk hidupnya: ia selalu mengejar sesuatu yang saat itu masih di luar jangkauannya. Setelah mobil tersebut jauh meninggalkannya, Soichiro berhenti sambil terengah-engah dan melihat tetesan bensin atau oli di tanah berdebu. Soichiro kecil menggosokkan tangannya ke tetesan di tanah tersebut dan menghirup baunya laksana seorang yang sedang kehausan di padang pasir menemukan tetesan air.
Pengalaman itu menanamkan tekad untuk mengembangkan teknologi. Keluarga Gihei Honda tidak kaya, tetapi ia menanamkan anak-anaknya etika kerja keras dan kasih terhadap hal-hal mekanis. Soichiro segera belajar bagaimana mengasah pisau mesin pertanian dan bagaimana membuat mainan sendiri. Ia juga sangat tertarik dengan suara mesin penggilingan padi di dekat desanya yang membuatnya meminta sang kakek mengantar untuk melihatnya.
Di sekolah, ia mendapat julukan ‘hidung hitam musang’ karena wajahnya selalu kotor akibat membantu ayahnya di bengkel. Ia bukan siswa yang memiliki otak cemerlang. Di kelas, duduknya tidak pernah di depan, selalu menjauh dari pandangan guru. Harinya dipenuhi dengan kecerdikan teknis, termasuk kesempatannya belajar hal-hal teknis dari bengkel sepeda ayahnya. Ayahnya selalu memberinya catut untuk mencabut paku. Ia juga sering bermain di tempat penggilingan padi melihat mesin diesel yang menjadi motor penggeraknya. Di situ, lelaki ini dapat berdiam diri berjam-jam. Tak seperti kawan sebayanya kala itu yang lebih banyak menghabiskan waktu bermain penuh suka cita. Dia memang menunjukkan keunikan sejak awal.
Saat merintis bisnisnya, Soichiro Honda selalu diliputi kegagalan. Ia sempat jatuh sakit, kehabisan uang, dan dikeluarkan dari kuliah. Ia gagal menyandang gelar insinyur. Namun ia terus bermimpi dan bermimpi. Impian itu akhirnya terjelma dengan bekal ketekunan dan kerja keras.
Pada tahun 1917 saat Honda berumur 8 tahun, seorang pilot bernama Art Smith berkunjung ke lapangan udara militer Wachiyama untuk menunjukkan kemampuan aerobatiknya. Honda langsung membongkar kotak kas kecil keluarga, ‘meminjam’ salah satu sepeda ayahnya dan melaju sejauh 20 kilometer ke tempat yang belum pernah ia kunjungi untuk melihat pesawat. Ketika sampai di sana, ia segera menyadari bahwa tiket masuk, apalagi berkaitan dengan penerbangan, jauh melampaui kemampuannya. Tapi ia tidak berputus asa. Setelah memanjat pohon, ia bisa melihat pesawat bergerak dan itu sudah cukup. Ketika Gihei Honda melihat apa yang dilakukan anaknya untuk sampai ke bandara, dia tidak marah tetapi justru terkesan dengan tekad, inisiatif, dan resiko besar dimarahi karena mengambil uang dan sepeda.
Ketika 12 tahun, Soichiro Honda berhasil menciptakan sebuah sepeda pancal dengan model rem kaki. Sampai saat itu, di benaknya belum muncul impian menjadi usahawan otomotif karena dia sadar berasal dari keluarga miskin. Apalagi fisiknya lemah, tidak tampan, sehingga membuatnya selalu rendah diri.
Di usia 15 tahun, Honda pindah ke kota untuk bekerja di Hart Shokai Company. Saka Kibara bossnya sangat senang melihat cara kerjanya. Honda teliti dan cekatan dalam soal mesin. Setiap suara yang mencurigakan, setiap oli yang bocor, tidak luput dari perhatiannya. Enam tahun bekerja di situ menambah wawasannya tentang permesinan.
Akhirnya pada usia 21 tahun, Saka Kibara menawarkannya membuka suatu kantor cabang di Hamamatsu yang tidak ditolaknya. Di Hamamatsu prestasi kerjanya kian membaik. Ia selalu menerima reparasi yang ditolak oleh bengkel lain. Kerjanya pun cepat memperbaiki mobil sehingga pelanggan datang kembali. Karena itu, jam kerjanya tak jarang hingga larut malam dan terkadang sampai subuh. Yang menarik, walau terus kerja lembur otak jeniusnya tetap kreatif. Kejeniusannya membuahkan fenomena. Pada zaman itu, jari-jari mobil terbuat dari kayu, hingga tidak baik untuk kepentingan meredam goncangan. Menyadari ini, Soichiro punya gagasan untuk menggantikan ruji-ruji itu dengan logam. Hasilnya luar biasa. Ruji-ruji logamnya laku keras dan diekspor ke seluruh dunia.
Pada usia 30 tahun, Honda menandatangani patennya yang pertama. Setelah menciptakan ruji, Honda membuat usaha bengkel sendiri dan melepaskan diri dari bosnya. Dari situ ia mulai berpikir, spesialis apa yang akan dipilih? Otaknya tertuju kepada pembuatan ring piston yang dihasilkan oleh bengkelnya sendiri pada 1938. Produk tersebut ditawarkannya itu ke sejumlah pabrikan otomotif.
Sayang, produknya ditolak Toyota karena dianggap tidak memenuhi standar. Ring Piston buatannya tidak lentur dan tidak laku dijual. Ia ingat reaksi teman-temannya terhadap kegagalan itu dan menyesalkan dirinya keluar dari bengkel milik Saka Kibara. Akibat kegagalan itu, Honda jatuh sakit cukup serius. Dua bulan kemudian, kesehatannya pulih kembali. Ia kembali memimpin bengkelnya. Tapi, soal ring pinston itu, belum juga ada solusinya. Demi mencari jawaban, ia kuliah lagi untuk menambah pengetahuannya tentang mesin. Siang hari setelah pulang kuliah, dia langsung ke bengkel mempraktekkan pengetahuan yang baru diperoleh di kampus. Tetapi setelah dua tahun menjadi mahasiswa, ia akhirnya dikeluarkan karena jarang mengikuti kuliah. ”Saya merasa sekarat, karena ketika lapar tidak diberi makan, melainkan dijejali penjelasan bertele-tele tentang hukum makanan dan pengaruhnya, ” ujar Honda yang diusia mudanya gandrung balap mobil. Kepada rektornya, ia jelaskan kuliahnya bukan mencari ijazah melainkan pengetahuan. Penjelasan ini justru dianggap penghinaan. Tapi dikeluarkan dari perguruan tinggi bukan akhir segalanya. Berkat kerja kerasnya, desain ring pinston-nya diterima pihak Toyota yang langsung memberikan kontrak. Ini membawa Honda berniat mendirikan pabrik. Impiannya untuk mendirikan pabrik mesinpun serasa kian dekat di pelupuk mata.
Tetapi malangnya, niatan itu kandas. Karena siap perang, Jepang tidak memberikan dana kepada masyarakat. Bukan Honda kalau menghadapi kegagalan lalu menyerah pasrah. Dia lalu nekad mengumpulkan modal dari sekelompok orang untuk mendirikan pabrik.
Namun lagi-lagi musibah datang. Setelah perang meletus, pabriknya terbakar, bahkan hingga dua kali kejadian itu menimpanya. Honda tidak pernah patah semangat. Dia bergegas mengumpulkan karyawannya. Mereka diperintahkan mengambil sisa kaleng bensol yang dibuang oleh kapal Amerika Serikat, untuk digunakan sebagai bahan mendirikan pabrik.
Penderitaan sepertinya belum akan selesai. Tanpa diduga, gempa bumi meletus menghancurkan pabriknya sehingga diputuskan menjual pabrik ring pinstonnya ke Toyota. Setelah itu, Honda mencoba beberapa usaha lain. Sayang semuanya gagal.
Pada bulan Oktober 1946, setelah perang, Jepang kekurangan bensin. Di sini kondisi ekonomi Jepang porak poranda sampai-sampai Honda tidak dapat menjual mobilnya akibat krisis moneter itu. Padahal dia ingin menjual mobil itu hanya untuk membeli makanan bagi keluarganya. Dalam keadaan terdesak ia lalu kembali bermain-main dengan sepeda pancalnya. Karena memang nafasnya selalu berbau rekayasa mesin, dia pun memasang motor kecil pada sepeda itu. Siapa sangka, sepeda pancal bermotor tersebut diminati oleh para tetangga. Jadilah dia memproduksi sepeda bermotor itu. Karena bensin sangat langka waktu itu, maka Honda mengembangkan sepeda bermesin tersebut menggunakan terpentin. Sepeda pancal bermesin tersebut harus digenjot terlebih dahulu baru bisa jalan. Sepeda bermotor ini menjadi cikal bakal lahirnya sepeda motor Honda, atau merupakan sepeda motor honda pertama. Para tetangga dan kerabatnya berbondong-bondong memesan sehingga Honda kehabisan stok. Honda kemudian mendirikan pabrik motor. Sejak itu, kesuksesan tak pernah lepas dari tangannya. Motor Honda berikut mobilnya menjadi raja jalanan dunia, termasuk Indonesia.
Soichiro Honda adalah seorang pembalap, bisnisman, dan seorang teknokrat sejati terbukti lebih dari 100 penemuannya telah dipatenkan. Disamping semua itu yang paling penting adalah Soichiro Honda itu adalah seorang pemimpi meskipun kegagalan selalu mengikuti hidupnya. Ia pernah berkata, ”Orang melihat kesuksesan saya hanya 1%, tapi mereka tidak melihat 99% kegagalan saya. Ketika anda mengalami kegagalan, maka segeralah mulai kembali bermimpi dan mimpikanlah mimpi baru”.
Semasa hidup Honda selalu menyatakan, jangan dulu melihat keberhasilannya dalam menggeluti industri otomotif tetapi lihatlah kegagalan-kegagalan yang dialaminya. Kisah Honda ini jelas merupakan contoh bahwa sukses bisa diraih seseorang dengan modal seadanya, tidak pintar di sekolah, dan hanya berasal dari keluarga miskin.
Di masa tuanya, Honda dan Sachi istrinya mengambil lisensi terbang, main ski, seluncur, dan naik balon meski usia sudah menginjak 77 tahun. Ia dan Fujisawa juga membuat kesepakatan untuk tidak pernah memaksa anak-anak mereka bergabung dengan perusahaan, karena di masa kecilnya Soichiro Honda tidak pernah ingin mengikuti ayahnya di bengkel atau toko sepeda. ”Nilaiku jelek di sekolah tapi aku tidak bersedih karena duniaku di sekitar mesin, motor dan sepeda,” tutur Soichiro yang meninggal pada 5 Agustus 1991 dengan usia 84 tahun delapan bulan setelah dirawat di RS Juntendo, Tokyo , akibat mengidap lever.
0 comments:
Post a Comment