Masalah Politik Saat Ini
Kandungan terpenting dalam memahami kecenderungan politis di Indonesia, yakni bagaimana kita memahami aspek keragaman sosial itu sendiri. Sementara itu, dalam kontek pemahaman demokrasi, terletak pada kemampuan kita mengelola dengan baik potensi-potensi sosial tersebut menjadi semacam modal kultural. Sehingga, keragaman sosial itu, dapat kita jadikan semacam potensi sosial, guna memperkuat nilai-nilai demokrasi. Harapan dan angan-angan membangun masyarakat Indonesia yang demokratis, bagaimanapun juga harus dikuasai sebagai variabel pendukung pembaharuan, bukan justru dijadikan sumber masalah, untuk kemudian dijadikan alasan terjadinya konflik sosial. Pada tahap bahwa keragaman sosial dinyatakan sebagai kekayaan atas bentuk demokrasi "model Indonesia", menurut hemat penulis akan melahirkan beragam bentuk prasyarat-prasyarat politis- yang intinya lebih banyak melakukan beragam akomodasi- dan bukan berupa represi kultural, seperti pernah dilakukan oleh rezim Orde Baru. Oleh sebab itu, kekuasan negara di tengah-tengah masyarakat Indonesia yang serba multi-kultural ini, hendaknya penguasa politik tidak mungkin hanya menyederhanakan masalah melalui praktek politik jargon-jargon seperti: integrasi, kebhinekaan dan bentuk kekuasaan feodal yang hegemonik.
Sebaliknya, apabila potensi sosio-kultural itu tidak dikelola dengan baik, besar kemungkinannya akan melahirkan pergesekan-pergesakan kultural yang berjung pada ketidak-stabilan politik. Selama kurun perubahan politik pasca kejatuhan Orde Baru, telah kita saksikan betapa buruknya pengelolaan potensi sosial oleh kekuasaan negara. Terlebih, apabila kita melihat bangkitnya gerakan sparatisme akhir-akhir ini, dengan kasat mata, kekuasaan politik terlalu mudah menyederhanakan masalah. Keragaman tuntutan dimaknai hanya sebagai bentuk kerewelan daerah-serta dianggap menggangu kedudukan pusat kekuasaan. Padahal, suka atau tidak suka, tuntutan perubahan dari beragam bangsa-bangsa di Indonesia, akan terus menerus menjadi sebuah keniscayaan politik yang sulit untuk kita bendung. Keragaman sebagai keniscyaan wacana multikulturalisme hendaknya dijadikan paradigma baru dalam merajut kembali hubungan antarmanusia yang belakangan selalu hidup dalam suasana penuh konflikstual. Saat ini muncul kesadaran masif bahwa diperlukan kepekaan terhadap kenyataan kemajemukan, pluralitas bangsa, baik dalam etnis, agama, budaya, sampai dengan orientasi politik. Tawaran paradigma berupa kesadaran multikulturalisme,memang, bukanlah hal yang baru. Masalahnya, bagaimana caranya kita dapat memobilisasikan konsep keberagaman tersebut melalui proses pengambilan keputusan politis. Pasalnya, selang bertahun-tahun, konsep keberagaman yang dijabarkan secara politis ke dalam konsep Kebhinekaan, hanya bekerja pada tataran kognitif semata. Sebaliknya, dalam praktek kekuasaan yang ada, justru melakukan tindak penolakan (ketidak-konsistensi), seperti tergambarkan melalui sentralisasi politik dan sosial. Penyelewengan konsepsi bernegara semacam itu, setidaknya berhasil menghadirkan kondisi yang buruk- seperti melahirkan stigma politis atas hak-hak manusia Indonesia. Berdasarkan sudut pandang seperti itu, sudah semestinya, yang kita butuhkan sekarang adalah model kekuasaan Indonesia yang cerdas, dalam arti mampu melihat ancaman menjadi potensi. Konsepsi Indonesia dengan segala bentuk keragaman kulturalnya, pada tahapan teoritik, akan membawa masyarakat Indonesia pada bentuk kesadaran, bahwa kita merupakan bangsa yang majemuk (plural), bangsa yang kaya ragamnya (diversity) dan sebagai bangsa multikultural. Dengan kenyataan semacam ini, konklusi yang hendak ditawarkan di sini adalah; bagaimana para pelaku politik mempunyai tanggung jawab yang memadai- dan dengan maksud mampu mengakomodir segala bentuk kemajemukan sosial. Sifat hetrogenik semacam ini, bilamana tidak dijadikan sebagai landasan kerja politik , menurut hemat penulis akan semakin menjauhkan posisi para politisi negara/aparatus negara dengan massa pendukungnya. Terlebih, apabila kita kaitkan kondisi tersebut dengan tuntutan perubahan ke depan. Secara terang benderang, para politisi telah meramalkan suatu kondisi dunia dengan meningkatnya kesadaran etnositas yang serba tidak tunggal (majemuk) dan penuh konflik jangka pendek.
Indikasi kebenaran teoritik tersebut, secara kasatmata sudah kita rasakan saat ini. Persoalannya, model demokrasi yang menekankan kesadaran pluralitas, harus didasarkan semangat egaliterisme- dengan muatan dan prasayarat yang sangat kompleks. Hal ini sejalan dengan pandangan ahli filsafat bernama James Mills yang menyatakan bahwa demokrasi bersifat plural tidak dapat dipraktekan dengan semena-mena. Hal itu menyangkut persiapan kelembagaan, sistem kenegaraan dan moralitas bangsa dalam menghadapi tantangan-tantangan baru yang dibawa oleh sifat keterbukaan pluralisme. Bilamana model demokrasi yang menekankan pluralitas hendak diterapkan, sepatutnya kita mencermatinya secara lebih kritis lagi. Salah praktek, akibatnya akan mengakibatkan anarkisme kekuasaan dan kemudian dibarengi oleh anarkisme sosial yang cenderung distruktif. Maka dari itu, di tengah bangkitnya kesadaran lokal yang kian hari kian meningkat, sudah sepatutnya beragam piranti negara jauh lebih serius, manakala kita menghendaki geo-politik Indonesia hendak dipertahankan. Dengan lain perkataan, apakah kita akan tetap mempertahankan konsepsi politik negara dalam bentuk wacana integratif atau kita mengubahnya menjadi bentuk negara yang lebih pluralisti-seperti kita memikirkan kembali bentuk negara feredartif. Tanpa kesiapan untuk melakukan perubahan paradigma negara secara lebih mendasar, saya mengkhawatirkan cara-cara penanggulangan masalah seperti yang diberlakukan terhadap Aceh, akan sangat tidak bermanfaat dalam perspektif Indonesia ke depan. Sejarah telah membuktikan, tidak ada satu pun kasus yang dapat membuktikan bahwa dengan cara-cara pendekatan represif mampu menyelesaikan secara tuntas akar permasalahan sparatisme. Alasannya sepele saja, perlawanan-perlawana itu akan menjadi obor baru bagi perlawanan berikutnya, bilamana negara melakukan kekerasan politik terhadap sebuah entitas politik. Kita dapat merujuk pada kasus di Kashmir, Liberia, Chec bahkan kasus negara tetangga seperti yang terjadi di Philipinan Selatan, kesemuanya gagal diselesaikan melalui jalan kekerasan politik. Pada tataran semacam itu, penulis mengkhawatirkan, apabila kita di masa mendatang justru memaskui wilayah perubahan yang "tidak kita kenali". Lebih parah lagi apabila para politisi justru menempatkan diri seperti pernah dinyatakan oleh mantan Direktur Program Kajian Asia Tenggara, Ohio University, serta Associate Professor, Department of Philosophy, Ohio University, Athens, Ohio, Elizabeth Fuller Collins sebagai berikut :
"(suatu) proses transisi politik yang bergolak pasti hampir selalu melibatkan upaya-upaya dari elit-elit yang bertikai untuk memobilisasi bagian-bagian tertentu dari masyarakat, termasuk diantaranya para pekerja, yang saat ini dikecualikan secara resmi dari kehidupan politik. Dibawah situasi seperti itu, tampaknya akan sangat mungkin...bagi partai-partai politik dan organisasi-organisasi lain, yang mewakili bagian-bagian tertentu dari elit politik, untuk mencoba memperkokoh posisi mereka di dalam konfigurasi politik pasca-Suharto."
Karenanya, kerumitan akaibat luasnya ruang lingkup konflik di tanah air, merupakan potensi gangguan kekerasan. Bentuk keragama denga konsekuensi menguatnya politik kekerasan, muncul karena adanya berbagai macam alasan, seperti kegagalan lembaga-lembaga politik dan hukum untuk menyediakan perangkat/aturan bagi penyelesaian konflik maupun mengatasi keluhan-keluhan, konsolidasi (penguatan) identitas-identitas komunal dimana kelompok-kelompok bersaing mendapatkan akses untuk atau kendali atas sumber-sumber ekonomi, dan penggunaan kekerasan yang dijatuhkan oleh negara (state-sanctioned violence) untuk menghasut atau menekan konflik. Dalam kontek ini, klaim bahwa Indonesia adalah suatu budaya yang penuh kekerasan (a violent culture) hanyalah sebuah klaim politik yang dapat dimanfaatkan untuk membenarkan kembalinya penguasa yang otoriter dan kekerasan negara berikutnya. Berdasarkan realitas politik seperti itu, paham multikulturalisme diharapkan mampu memberikan kontribusi terhadap proses demokratisasi. Upaya terus menerus mengetangahkan persamaan hak politik di tingkat sosial yang lebih luas, akan menghubungkan multikulturalisme dengan demokrasi. Terlebih jika kita melihat sisi keragaman budaya itu, sebagai modal sosial, maka yang kita lihat bahwa hetrogenitas itu menawarkan jalur-jalur baru yang kelak kemudian hari akan memberi jalan alternatif pembaharuan politik di Indonesia. Karena multikulturalsisme itu adalah sebuah ideologi dan sebuah alat atau wahana untuk meningkatkan derajat manusia dan kemanusiannya, maka konsep kebudayaan harus dilihat dalam perspektif fungsinya bagi kehidupan manusia. Dasar untuk menempatkan hakekat kemanusiaan, menjadi memiliki relevansi, terlebih melihat kondisi politik Indonesia, yang kian hari kian menunjukan tindak anarkisme. Politik Indonesia membutuhkan pintu baru, sebuah cara untuk mengenali kembali akar sosialnya sendiri. Meskipun begitu, di bawah interpretasi-interpretasi yang penuh bias itu adalah demokrasi dan semangat pembaharuan yang pluralistik merupakan pilihan yang sangatlah sulit bagi kehidupan di tanah air.Langkah untuk mengetahui, meskipun sulit untuk mengatakan, mengapa dan bagaimana demokrasi menjadi jalan yang terjal untuk sebuah prasyarat perubahan, kita dapat kembali memaknai seluruh peristiwa perubahan sebagai bagian yang tidak terpisahkan untuk terus menjadikan masa lalu yang buruk untuk membangun kembali, sekian catatan kegagalan bangsa ini mencari bentuknya yang paling ideal. Bahwa kesadaran, catatan dan harapan yang kini tak ubahnya sulit kita pahami, tetapi setidaknya kesadaran akan perubahan bisa memberikan cukup informasi untuk mengetahui bahwa kekerasan, bahkan kebrutalan politik, bukanlah satu-satunya modal kultural yang kita miliki. Masih terdapat banyak cara, untuk menyusun kembali "puzzle" keragaman Nusantara dalam kerangka Indonesia moderen yang jauh lebih manusiawi. Bangsa Indonesia yang selama ini dikenal sebagai bangsa yang ramah-tamah, sopan, halus dan lembut mungkin akan sekedar menjadi kenangan masa lalu. Kebuntuan aspirasi yang selama ini terjadi akibat sumbatan rejim Orde Baru seolah-olah diledakkan sekaligus. Kenang-kenangan Indonesia yang damai, akan menajdi bagian yang terpisahkan dari harapan sebagian besar bangsa kita. Namun, semuanya akan benar-benar menjadi kenangan kolektif, bilama kita tidak menyadari perubahan itu adalah keniscayaan sejarah dari rentetan pulau dan kehidupan Nusantara. Maka, dari mana kita memulai semua ini ? Mungkin benar, ujar Hobes: pahamilah masalah.
Kandungan terpenting dalam memahami kecenderungan politis di Indonesia, yakni bagaimana kita memahami aspek keragaman sosial itu sendiri. Sementara itu, dalam kontek pemahaman demokrasi, terletak pada kemampuan kita mengelola dengan baik potensi-potensi sosial tersebut menjadi semacam modal kultural. Sehingga, keragaman sosial itu, dapat kita jadikan semacam potensi sosial, guna memperkuat nilai-nilai demokrasi. Harapan dan angan-angan membangun masyarakat Indonesia yang demokratis, bagaimanapun juga harus dikuasai sebagai variabel pendukung pembaharuan, bukan justru dijadikan sumber masalah, untuk kemudian dijadikan alasan terjadinya konflik sosial. Pada tahap bahwa keragaman sosial dinyatakan sebagai kekayaan atas bentuk demokrasi "model Indonesia", menurut hemat penulis akan melahirkan beragam bentuk prasyarat-prasyarat politis- yang intinya lebih banyak melakukan beragam akomodasi- dan bukan berupa represi kultural, seperti pernah dilakukan oleh rezim Orde Baru. Oleh sebab itu, kekuasan negara di tengah-tengah masyarakat Indonesia yang serba multi-kultural ini, hendaknya penguasa politik tidak mungkin hanya menyederhanakan masalah melalui praktek politik jargon-jargon seperti: integrasi, kebhinekaan dan bentuk kekuasaan feodal yang hegemonik.
Sebaliknya, apabila potensi sosio-kultural itu tidak dikelola dengan baik, besar kemungkinannya akan melahirkan pergesekan-pergesakan kultural yang berjung pada ketidak-stabilan politik. Selama kurun perubahan politik pasca kejatuhan Orde Baru, telah kita saksikan betapa buruknya pengelolaan potensi sosial oleh kekuasaan negara. Terlebih, apabila kita melihat bangkitnya gerakan sparatisme akhir-akhir ini, dengan kasat mata, kekuasaan politik terlalu mudah menyederhanakan masalah. Keragaman tuntutan dimaknai hanya sebagai bentuk kerewelan daerah-serta dianggap menggangu kedudukan pusat kekuasaan. Padahal, suka atau tidak suka, tuntutan perubahan dari beragam bangsa-bangsa di Indonesia, akan terus menerus menjadi sebuah keniscayaan politik yang sulit untuk kita bendung. Keragaman sebagai keniscyaan wacana multikulturalisme hendaknya dijadikan paradigma baru dalam merajut kembali hubungan antarmanusia yang belakangan selalu hidup dalam suasana penuh konflikstual. Saat ini muncul kesadaran masif bahwa diperlukan kepekaan terhadap kenyataan kemajemukan, pluralitas bangsa, baik dalam etnis, agama, budaya, sampai dengan orientasi politik. Tawaran paradigma berupa kesadaran multikulturalisme,memang, bukanlah hal yang baru. Masalahnya, bagaimana caranya kita dapat memobilisasikan konsep keberagaman tersebut melalui proses pengambilan keputusan politis. Pasalnya, selang bertahun-tahun, konsep keberagaman yang dijabarkan secara politis ke dalam konsep Kebhinekaan, hanya bekerja pada tataran kognitif semata. Sebaliknya, dalam praktek kekuasaan yang ada, justru melakukan tindak penolakan (ketidak-konsistensi), seperti tergambarkan melalui sentralisasi politik dan sosial. Penyelewengan konsepsi bernegara semacam itu, setidaknya berhasil menghadirkan kondisi yang buruk- seperti melahirkan stigma politis atas hak-hak manusia Indonesia. Berdasarkan sudut pandang seperti itu, sudah semestinya, yang kita butuhkan sekarang adalah model kekuasaan Indonesia yang cerdas, dalam arti mampu melihat ancaman menjadi potensi. Konsepsi Indonesia dengan segala bentuk keragaman kulturalnya, pada tahapan teoritik, akan membawa masyarakat Indonesia pada bentuk kesadaran, bahwa kita merupakan bangsa yang majemuk (plural), bangsa yang kaya ragamnya (diversity) dan sebagai bangsa multikultural. Dengan kenyataan semacam ini, konklusi yang hendak ditawarkan di sini adalah; bagaimana para pelaku politik mempunyai tanggung jawab yang memadai- dan dengan maksud mampu mengakomodir segala bentuk kemajemukan sosial. Sifat hetrogenik semacam ini, bilamana tidak dijadikan sebagai landasan kerja politik , menurut hemat penulis akan semakin menjauhkan posisi para politisi negara/aparatus negara dengan massa pendukungnya. Terlebih, apabila kita kaitkan kondisi tersebut dengan tuntutan perubahan ke depan. Secara terang benderang, para politisi telah meramalkan suatu kondisi dunia dengan meningkatnya kesadaran etnositas yang serba tidak tunggal (majemuk) dan penuh konflik jangka pendek.
Indikasi kebenaran teoritik tersebut, secara kasatmata sudah kita rasakan saat ini. Persoalannya, model demokrasi yang menekankan kesadaran pluralitas, harus didasarkan semangat egaliterisme- dengan muatan dan prasayarat yang sangat kompleks. Hal ini sejalan dengan pandangan ahli filsafat bernama James Mills yang menyatakan bahwa demokrasi bersifat plural tidak dapat dipraktekan dengan semena-mena. Hal itu menyangkut persiapan kelembagaan, sistem kenegaraan dan moralitas bangsa dalam menghadapi tantangan-tantangan baru yang dibawa oleh sifat keterbukaan pluralisme. Bilamana model demokrasi yang menekankan pluralitas hendak diterapkan, sepatutnya kita mencermatinya secara lebih kritis lagi. Salah praktek, akibatnya akan mengakibatkan anarkisme kekuasaan dan kemudian dibarengi oleh anarkisme sosial yang cenderung distruktif. Maka dari itu, di tengah bangkitnya kesadaran lokal yang kian hari kian meningkat, sudah sepatutnya beragam piranti negara jauh lebih serius, manakala kita menghendaki geo-politik Indonesia hendak dipertahankan. Dengan lain perkataan, apakah kita akan tetap mempertahankan konsepsi politik negara dalam bentuk wacana integratif atau kita mengubahnya menjadi bentuk negara yang lebih pluralisti-seperti kita memikirkan kembali bentuk negara feredartif. Tanpa kesiapan untuk melakukan perubahan paradigma negara secara lebih mendasar, saya mengkhawatirkan cara-cara penanggulangan masalah seperti yang diberlakukan terhadap Aceh, akan sangat tidak bermanfaat dalam perspektif Indonesia ke depan. Sejarah telah membuktikan, tidak ada satu pun kasus yang dapat membuktikan bahwa dengan cara-cara pendekatan represif mampu menyelesaikan secara tuntas akar permasalahan sparatisme. Alasannya sepele saja, perlawanan-perlawana itu akan menjadi obor baru bagi perlawanan berikutnya, bilamana negara melakukan kekerasan politik terhadap sebuah entitas politik. Kita dapat merujuk pada kasus di Kashmir, Liberia, Chec bahkan kasus negara tetangga seperti yang terjadi di Philipinan Selatan, kesemuanya gagal diselesaikan melalui jalan kekerasan politik. Pada tataran semacam itu, penulis mengkhawatirkan, apabila kita di masa mendatang justru memaskui wilayah perubahan yang "tidak kita kenali". Lebih parah lagi apabila para politisi justru menempatkan diri seperti pernah dinyatakan oleh mantan Direktur Program Kajian Asia Tenggara, Ohio University, serta Associate Professor, Department of Philosophy, Ohio University, Athens, Ohio, Elizabeth Fuller Collins sebagai berikut :
"(suatu) proses transisi politik yang bergolak pasti hampir selalu melibatkan upaya-upaya dari elit-elit yang bertikai untuk memobilisasi bagian-bagian tertentu dari masyarakat, termasuk diantaranya para pekerja, yang saat ini dikecualikan secara resmi dari kehidupan politik. Dibawah situasi seperti itu, tampaknya akan sangat mungkin...bagi partai-partai politik dan organisasi-organisasi lain, yang mewakili bagian-bagian tertentu dari elit politik, untuk mencoba memperkokoh posisi mereka di dalam konfigurasi politik pasca-Suharto."
Karenanya, kerumitan akaibat luasnya ruang lingkup konflik di tanah air, merupakan potensi gangguan kekerasan. Bentuk keragama denga konsekuensi menguatnya politik kekerasan, muncul karena adanya berbagai macam alasan, seperti kegagalan lembaga-lembaga politik dan hukum untuk menyediakan perangkat/aturan bagi penyelesaian konflik maupun mengatasi keluhan-keluhan, konsolidasi (penguatan) identitas-identitas komunal dimana kelompok-kelompok bersaing mendapatkan akses untuk atau kendali atas sumber-sumber ekonomi, dan penggunaan kekerasan yang dijatuhkan oleh negara (state-sanctioned violence) untuk menghasut atau menekan konflik. Dalam kontek ini, klaim bahwa Indonesia adalah suatu budaya yang penuh kekerasan (a violent culture) hanyalah sebuah klaim politik yang dapat dimanfaatkan untuk membenarkan kembalinya penguasa yang otoriter dan kekerasan negara berikutnya. Berdasarkan realitas politik seperti itu, paham multikulturalisme diharapkan mampu memberikan kontribusi terhadap proses demokratisasi. Upaya terus menerus mengetangahkan persamaan hak politik di tingkat sosial yang lebih luas, akan menghubungkan multikulturalisme dengan demokrasi. Terlebih jika kita melihat sisi keragaman budaya itu, sebagai modal sosial, maka yang kita lihat bahwa hetrogenitas itu menawarkan jalur-jalur baru yang kelak kemudian hari akan memberi jalan alternatif pembaharuan politik di Indonesia. Karena multikulturalsisme itu adalah sebuah ideologi dan sebuah alat atau wahana untuk meningkatkan derajat manusia dan kemanusiannya, maka konsep kebudayaan harus dilihat dalam perspektif fungsinya bagi kehidupan manusia. Dasar untuk menempatkan hakekat kemanusiaan, menjadi memiliki relevansi, terlebih melihat kondisi politik Indonesia, yang kian hari kian menunjukan tindak anarkisme. Politik Indonesia membutuhkan pintu baru, sebuah cara untuk mengenali kembali akar sosialnya sendiri. Meskipun begitu, di bawah interpretasi-interpretasi yang penuh bias itu adalah demokrasi dan semangat pembaharuan yang pluralistik merupakan pilihan yang sangatlah sulit bagi kehidupan di tanah air.Langkah untuk mengetahui, meskipun sulit untuk mengatakan, mengapa dan bagaimana demokrasi menjadi jalan yang terjal untuk sebuah prasyarat perubahan, kita dapat kembali memaknai seluruh peristiwa perubahan sebagai bagian yang tidak terpisahkan untuk terus menjadikan masa lalu yang buruk untuk membangun kembali, sekian catatan kegagalan bangsa ini mencari bentuknya yang paling ideal. Bahwa kesadaran, catatan dan harapan yang kini tak ubahnya sulit kita pahami, tetapi setidaknya kesadaran akan perubahan bisa memberikan cukup informasi untuk mengetahui bahwa kekerasan, bahkan kebrutalan politik, bukanlah satu-satunya modal kultural yang kita miliki. Masih terdapat banyak cara, untuk menyusun kembali "puzzle" keragaman Nusantara dalam kerangka Indonesia moderen yang jauh lebih manusiawi. Bangsa Indonesia yang selama ini dikenal sebagai bangsa yang ramah-tamah, sopan, halus dan lembut mungkin akan sekedar menjadi kenangan masa lalu. Kebuntuan aspirasi yang selama ini terjadi akibat sumbatan rejim Orde Baru seolah-olah diledakkan sekaligus. Kenang-kenangan Indonesia yang damai, akan menajdi bagian yang terpisahkan dari harapan sebagian besar bangsa kita. Namun, semuanya akan benar-benar menjadi kenangan kolektif, bilama kita tidak menyadari perubahan itu adalah keniscayaan sejarah dari rentetan pulau dan kehidupan Nusantara. Maka, dari mana kita memulai semua ini ? Mungkin benar, ujar Hobes: pahamilah masalah.
0 comments:
Post a Comment